Thursday, July 9, 2009

Hutan Mangrove








Topik : Kajian Fungsi Mangrove di Kawasan Pesisir,
kaitannya dengan perencanaan ruang pesisir
a. Fungsi meredam dari Efek Gas Rumah Kaca yang menyebabkan Global Warming, yang dampaknya Naiknya Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Efek gas rumah kaca, dapat dijelaskan secara sederhana seperti ini, gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari secara leluasa masuk ke Bumi, namun ketika bumi kembali memantulakan gelombang panjangke atmosfer, gelombang tadi tertahan oleh lapisan kaca, lapisan kaca tersebut terbentuk dari berbagai macam gas, terutama kabondioksida (CO2), yang konsentrasinya kini hingga mencapai 382 part per million (ppm). Sehingga suhu bumi makin hangat akibat efek ini.

Gambar 1, Proses Efek Gas Rumah Kaca, Subandono (2009)
Akibat dari proses global warming ini, imbasnya terjadi juga diwilayah pesisir, naiknya paras muka air laut (sea level rise) menyebabkan garis pantai, maupun lahan yang baik di budidaya maupun , non budidaya menjadi hilang. Apalagi pantai sifatnya landai, berpasir. Hal ini dapat berakibat buruk pada daerah Upland atau daratan, khususnya masyarakat setempat. Walapun dampaknya tidak terlalu terlihat pada 10 tahun kedepan namun, dalam perencanaan wilayah pesisir, proyeksi kedepan dan tantangan ke depan di wilayah pesisir harus difikirkan demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2, Kondisi Wilayah Pesisir Ketika terjadi SLR, Subandono (2009)
Dalam hal ini mangrove juga mampu meredam CO2, Sama halnya tumbuhan lain, mangrove juga mempunyai kemampuan untuk menyerap karbondioksida (CO2). Riset yang digarap Nyoto Santoso (2007) di Batu AMpar, Kalimantan Barat, menunjukkan Mangrove mampu menyerap CO2.
Menurut riset tersebut mangrove dengan kondisi tergolong baik (potensi kayu 178 m3/ha) ternyata mampu menyerap karbon sebesar 10,68 Ton/ha/tahun. Jika dihitung secara matematis maka jutaan hutan mangrove baik di Indonesia maupun dunia, mampu menyerap karbon yang sangat besar.
Perlunya penanaman hutan mangrove di wilayah pesisir, menjadi sangat penting hal ini untuk menyerap karbondioksida untuk meredam besarnya efek rumah kaca.
Secara fisik, mangrove juga mampu meredam naiknya paras muka air laut yang mengaibatkan erosi pantai. Khususnya pantai berlumpur, mangrove sangat penting, karena system perakaran mangrove biasanya menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove mampu meredam gelombang yang akan mencapai pantai. Apabila hutan mangrove di tebang maka fungsi peredaman akan hilang.

Gambar 3, Mangrove menahan SLR, Subandono (2009)

b. Fungsi meredam dari Pasang Laut, ROB Tsunami dan sebagai tempat hidup satwa air dalam rangka peningkatan budidaya perikanan
Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengingat system perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Dalam beberapa kasus penggunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih murah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatakan kualitas perairan di sekitarnya. Selain itu mangrove juga mampu meredam angin dan badai di sekitar pesisir pantai.
Keberadaan mangrove mampu meredam energy gelombang. Pengurangan energy tersebut akibat gesekan, turbelansi dan pecahnya gelombang yang terjadi di akar, batang dan ranting mangrove.
Mangrove karena memiliki perakaran yang kuat dan istimewa, bertajuk rapat dan rata serta lebat sepanjang waktu, sehingga mampu meredam gelombang Tsunami, sehingga mampu menjadi tameng alami untuk mitigasi tsunami di wilayah pesisir.

Gambar 4, Mangrove menahan Stunami, Subandono (2007)
Ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Menurut soemodihardjo et al (1993) jenis-jenis tumbuhan yang ada dihutan mangrove Indonesia mencakup sekitar 35 jenis pohon. 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Berdasarkan hasil penelitian Cann (1978), di hutan mangrove bermukim berbagai jenis kura-kura air tawar, buaya air tawar, mollusca, fauna lain seperti bangau hitam, kepiting, bakau, ikan belanak, Gastropoda, buaya muara dan biawak.
Disisi lain mangrove juga menunjang kegiatan perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Hal itu tak terlepas dari peran hutan mangrove sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan. Mangrove juga melindungi dan melestarikan habitat perikanan serta mengendalikan dan menjaga keseimbangan rantai makanan di pesisir.
Berdasarkan data tahun 1977 menunjukkan bahwa sekitar 3% dari hasil tangkapan laut di Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, sehingga nelayan bias dengan mudah menangkap ikan, udang, kepiting, dan moluska hamper tiap hari.
Hasil penelitian Martusubroto dan Naamin (1979) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Bahwa dengan meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15X.

Gambar 4, Grafik Hubungan antara Luasan Mangrove dengan Hasil Tangkapan Udang, Subandono (2009)

c. Fungsi untuk menahan Intrusi Air Laut akibat SLR
SLR juga mengakibatkan volume air laut yang besar mendesak ke dalam sangat besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke darat melalui sungai merupakan masalah bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan air baku dari sungai baik untuk keperluan sehari-hari maupun tuk industry, pertanian dan perikanan.


Gambar 5, A: Sebelum SLR Air tawar belum diintrusi air laut, B : Setelah SLR Air Tawar diintrusi air laut, Subandono (2009)

Adanya mangrove menjadi solusi menahan intrusi air laut yang sangat besar. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yang mampu menyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti bahwa lahan yang mangrovenya terjaga baik memiliki kondisi air tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya pada lahan mangrove yang telah dikonversi air tanahnya terintrusi oleh air laut.


Daftar Bacaan
Diposaptono, Subandono, Dkk.2007.Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor

Diposaptono, Subandono, Dkk. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Buku Ilmiah Populer. Bogor