Tuesday, October 13, 2009

Isu, Permasalahn serta penataan Ruang Pesisir secara Singkat

Isu Wilayah Pesisir Pantai dan Laut

Perkembangan pembangunan wilayah pesisir pantai dan laut yang cukup pesat berdampak pada pemanfaatan dan pengelolaan yang tumpang tindih atau terabaikan. Pengelolaan ini menjadi lebih kompleks bila tumpang tindih fungsi dan kewenangan atau ketidakpedulian ini lebih kepada konflik pemanfaatan sumberdaya kelautan antar sektor, daerah, swasta dan pihak yang berkepentingan lainnya. Isu wilayah pesisir pantai saat ini secara umum yang merupakan pemicu terjadinya konflik, adalah sebagai berikut :

1. Wilayah pesisir pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk terbesar,

2. Wilayah pesisir pantai merupakan daerah yang sangat produktif ekologi biologinya, tempat pemijahan dan pengasuhan biota laut (nursery ground),

3. Wilayah pesisir pantai merupakan wilayah dinamis yang kerap kali berubah baik dalam potensi biologis, khemis ataupun proses geomorfologi pantainya,

4. Pada Wilayah pesisir pantai banyak dijumpai terumbu karang, hutan mangrove dan sistem perbukitan membujur sepanjang tepi pantai yang merupakan daerah pertahanan alami terhadap badai, banjir dan abrasi laut.

5. Ekosistem pantai sering terpengaruh terhadap polusi, sedimen, limbah-limbah persawahan atau industri yang berasal dari daerah daratan (in land),

6. Kegiatan pemberdayaan ekonomi dan sosial masyarakat pesisir masih rendah.

Permasalahan Wilayah Pesisir Pantai dan Laut

Berbagai isu dan permasalahan wilayah yang dijumpai di wilayah pesisir. Umumnya permasalahan yang telah berkembang tersebut, antara lain :

1. Sumberdaya manusia yang rendah diiringi dengan pertumbuhan penduduk yang cepat akan memicu konflik-konflik di wilayah pesisir terutama yang berhubungan dengan penggunaan sumberdaya alam wilayah,

2. Adanya kepentingan individu yang dominan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dari penggunaan sumberdaya alam pesisir dan kelautan, sehingga hukum dikesampingkan,

3. Pengkurasan sumberdaya yang serius, dan rusaknya ekosistem pesisir pantai dan laut,

4. Polusi di daerah pantai dan lingkungan laut yang semakin meningkat,

5. Konflik keinginan antar sesama pengguna daerah pantai dan laut,

6. Kegiatan/pengelolaan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir/pantai belum terencana dengan baik termasuk lemahnya sistem koordinasi antarsektor dan antarpusat dan daerah (desentralisasi dan dekonsentralisasi).

7. Minimnya sarana dan prasarana, seperti sarana air bersih, telekomunikasi, transportasi,

Penataan ruang wilayah pesisir pantai dan laut relatif lebih dinamis dibandingkan dengan penataan ruang wilayah daratan. Dari ketiga aspek yang mempengaruhi penataan ruang, yaitu aspek fisik, sosial dan ekonomi, ketiganya relatif lebih dinamis pada penataan ruang wilayah pantai. Aspek fisik pada penataan ruang wilayah daratan hampir tidak berubah selama berlakunya rencana tata ruang, kecuali jika terjadi bencana alam yang merubah secara drastis rupa bumi wilayah perencanaan. Sebaliknya penataan ruang pada wilayah pantai, perubahan aspek fisik harus diperhatikan secara khusus, karena wilayah pantai merupakan bentang alam yang senantiasa berubah akibat intensifnya gaya-gaya didaratan dan dilautan. Di samping akibat gaya-gaya yang bersifat alamiah tersebut, wilayah pantai dapat pula berubah akibat perbuatan manusia, proses reklamasi dan lagunisasi merupakan dua contoh yang mulai banyak terjadi di Indonesia.

Dilihat dari aspek ekonomi, wilayah pantai juga mendapat pengaruh yang relatif lebih besar. Dinamika perekonomian wilayah mengakibatkan perubahan yang sangat cepat pada nilai atau opportunity cost dari lahan pantai. Kebutuhan pengembangan pelabuhan akibat membengkaknya arus perdagangan, kebutuhan lahan untuk pengembangan Water Front City akibat bertambahnya jumlah penduduk yang berpendapatan menengah ke atas yang menuntut adanya lokasi permukiman yang lebih berkualitas, pengembangan tambak akibat kenaikan permintaan ikan/udang di pasar dunia, merupakan tiga contoh klasik dari dinamika perekonomian yang memiliki dampak yang cukup besar terhadap penataan ruang wilayah pantai.

Aspek sosial umumnya merupakan ikutan dari perubahan yang diakibatkan oleh aspek ekonomi. Pengembangan wilayah pantai untuk kegiatan-kegiatan yang memiliki nilai ekonomis tinggi biasanya berdampak pada penggusuran kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang sebelumnya berdiam di wilayah pantai. Di samping itu, pengembangan wilayah pantai dalam banyak kasus sering bermuara pada dibatasinya akses sebagian besar masyarakat untuk menikmati sumberdaya laut yang selama ini dapat dimanfaatkannya secara gratis. Pengembangan permukiman mewah dan hotel berbintang dibibir pantai, seperti yang terjadi pada beberapa kota besar di Indonesia secara langsung membatasi kesempatan masyarakat untuk menikmati kenyamanan dan kesejukan pantai, termasuk keindahan sunset.

Penataan Ruang Wilayah Pesisir Pantai dan Laut

Dari pemahaman uraian permasalahan tersebut di atas, memperjelas bahwa prinsip dasar dalam penataan ruang wilayah pantai tidak berbeda jauh dengan penataan ruang pada umumnya, yaitu berupaya mendapatkan manfaat dari sumberdaya yang tersedia seoptimal mungkin dengan memperhatikan kelestarian lingkungan pantai dan laut serta aspek pertahanan keamanan.

Dengan kata lain, kaidah-kaidah penataan ruang yang berlaku umum tetap dapat digunakan dalam penataan ruang pantai, walaupun sebelumnya pada beberapa aspek memerlukan modifikasi agar sesuai dengan karakteristik wilayah pantai dan laut yang memiliki kekhususan tersendiri, yang berbeda dengan wilayah lainnya.

Thursday, July 9, 2009

Hutan Mangrove








Topik : Kajian Fungsi Mangrove di Kawasan Pesisir,
kaitannya dengan perencanaan ruang pesisir
a. Fungsi meredam dari Efek Gas Rumah Kaca yang menyebabkan Global Warming, yang dampaknya Naiknya Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise)
Efek gas rumah kaca, dapat dijelaskan secara sederhana seperti ini, gelombang pendek yang dipancarkan oleh matahari secara leluasa masuk ke Bumi, namun ketika bumi kembali memantulakan gelombang panjangke atmosfer, gelombang tadi tertahan oleh lapisan kaca, lapisan kaca tersebut terbentuk dari berbagai macam gas, terutama kabondioksida (CO2), yang konsentrasinya kini hingga mencapai 382 part per million (ppm). Sehingga suhu bumi makin hangat akibat efek ini.

Gambar 1, Proses Efek Gas Rumah Kaca, Subandono (2009)
Akibat dari proses global warming ini, imbasnya terjadi juga diwilayah pesisir, naiknya paras muka air laut (sea level rise) menyebabkan garis pantai, maupun lahan yang baik di budidaya maupun , non budidaya menjadi hilang. Apalagi pantai sifatnya landai, berpasir. Hal ini dapat berakibat buruk pada daerah Upland atau daratan, khususnya masyarakat setempat. Walapun dampaknya tidak terlalu terlihat pada 10 tahun kedepan namun, dalam perencanaan wilayah pesisir, proyeksi kedepan dan tantangan ke depan di wilayah pesisir harus difikirkan demi keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.

Gambar 2, Kondisi Wilayah Pesisir Ketika terjadi SLR, Subandono (2009)
Dalam hal ini mangrove juga mampu meredam CO2, Sama halnya tumbuhan lain, mangrove juga mempunyai kemampuan untuk menyerap karbondioksida (CO2). Riset yang digarap Nyoto Santoso (2007) di Batu AMpar, Kalimantan Barat, menunjukkan Mangrove mampu menyerap CO2.
Menurut riset tersebut mangrove dengan kondisi tergolong baik (potensi kayu 178 m3/ha) ternyata mampu menyerap karbon sebesar 10,68 Ton/ha/tahun. Jika dihitung secara matematis maka jutaan hutan mangrove baik di Indonesia maupun dunia, mampu menyerap karbon yang sangat besar.
Perlunya penanaman hutan mangrove di wilayah pesisir, menjadi sangat penting hal ini untuk menyerap karbondioksida untuk meredam besarnya efek rumah kaca.
Secara fisik, mangrove juga mampu meredam naiknya paras muka air laut yang mengaibatkan erosi pantai. Khususnya pantai berlumpur, mangrove sangat penting, karena system perakaran mangrove biasanya menjadi penopang bagi kestabilan pantai yang berlumpur. Hutan mangrove mampu meredam gelombang yang akan mencapai pantai. Apabila hutan mangrove di tebang maka fungsi peredaman akan hilang.

Gambar 3, Mangrove menahan SLR, Subandono (2009)

b. Fungsi meredam dari Pasang Laut, ROB Tsunami dan sebagai tempat hidup satwa air dalam rangka peningkatan budidaya perikanan
Mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai mengingat system perakarannya yang dapat meredam ombak, arus, serta menahan sedimen. Dalam beberapa kasus penggunaan vegetasi mangrove untuk penahan erosi lebih murah dan memberikan dampak ikutan yang menguntungkan dalam hal meningkatakan kualitas perairan di sekitarnya. Selain itu mangrove juga mampu meredam angin dan badai di sekitar pesisir pantai.
Keberadaan mangrove mampu meredam energy gelombang. Pengurangan energy tersebut akibat gesekan, turbelansi dan pecahnya gelombang yang terjadi di akar, batang dan ranting mangrove.
Mangrove karena memiliki perakaran yang kuat dan istimewa, bertajuk rapat dan rata serta lebat sepanjang waktu, sehingga mampu meredam gelombang Tsunami, sehingga mampu menjadi tameng alami untuk mitigasi tsunami di wilayah pesisir.

Gambar 4, Mangrove menahan Stunami, Subandono (2007)
Ekosistem mangrove memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Menurut soemodihardjo et al (1993) jenis-jenis tumbuhan yang ada dihutan mangrove Indonesia mencakup sekitar 35 jenis pohon. 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.
Berdasarkan hasil penelitian Cann (1978), di hutan mangrove bermukim berbagai jenis kura-kura air tawar, buaya air tawar, mollusca, fauna lain seperti bangau hitam, kepiting, bakau, ikan belanak, Gastropoda, buaya muara dan biawak.
Disisi lain mangrove juga menunjang kegiatan perikanan, baik tangkap maupun budidaya. Hal itu tak terlepas dari peran hutan mangrove sebagai kawasan pemijahan, daerah asuhan, dan mencari makan bagi ikan, udang dan kerang-kerangan. Mangrove juga melindungi dan melestarikan habitat perikanan serta mengendalikan dan menjaga keseimbangan rantai makanan di pesisir.
Berdasarkan data tahun 1977 menunjukkan bahwa sekitar 3% dari hasil tangkapan laut di Indonesia berasal dari jenis spesies yang bergantung pada ekosistem mangrove, sehingga nelayan bias dengan mudah menangkap ikan, udang, kepiting, dan moluska hamper tiap hari.
Hasil penelitian Martusubroto dan Naamin (1979) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara luas kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Bahwa dengan meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan budidaya juga turut meningkat dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15X.

Gambar 4, Grafik Hubungan antara Luasan Mangrove dengan Hasil Tangkapan Udang, Subandono (2009)

c. Fungsi untuk menahan Intrusi Air Laut akibat SLR
SLR juga mengakibatkan volume air laut yang besar mendesak ke dalam sangat besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke darat melalui sungai merupakan masalah bagi masyarakat pesisir yang menggantungkan air baku dari sungai baik untuk keperluan sehari-hari maupun tuk industry, pertanian dan perikanan.


Gambar 5, A: Sebelum SLR Air tawar belum diintrusi air laut, B : Setelah SLR Air Tawar diintrusi air laut, Subandono (2009)

Adanya mangrove menjadi solusi menahan intrusi air laut yang sangat besar. Fungsi ini sama dengan fungsi hutan yang mampu menyimpan air tanah. Kemampuan ini telah terbukti bahwa lahan yang mangrovenya terjaga baik memiliki kondisi air tanah yang tidak terintrusi air laut. Sebaliknya pada lahan mangrove yang telah dikonversi air tanahnya terintrusi oleh air laut.


Daftar Bacaan
Diposaptono, Subandono, Dkk.2007.Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor

Diposaptono, Subandono, Dkk. 2009. Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Buku Ilmiah Populer. Bogor

Sunday, May 10, 2009

KAWASAN PESISIR SUMPANGMINANGAE , KOTA PARE-PARE BERBASIS MITIGASI TSUNAMI



FILOSOFI

LATAR BELAKANG
Daerah Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara In Land dan Up land, yaitu perantara antara Laut dan Daratan hal ini menjadikan pesisir menjadi daerah yang sangat memiliki potensi kawasan yang sangat tinggi baik wisata, Industri, permukiman, dll. Namun disamping itu daerah pesisir merupakan daerah yang melindungi daerah daratan karena sebagai daerah bawah yang melindungi daerah atasnya (daratan).
Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan salah satu wilayah yang kaya akan potensi sumber daya laut, wisata, namun juga potensi akan Gelombang Pasang Tsunami (Agus Hendratno, 2005). Selat Makassar masuk dalam Zona D Sesismotektonik dengan 9 kali kejadian Tsunami dalam kurun waktu 400 tahun belakangan (Latief et al, 2000). Di Sulawesi Selatan, bencana Tsunami pernah melanda Kabupaten Majene (1964), Kota Makassar dan Kabupaten Bulukumba (1904), serta Kabupaten Selayar (1964 dan 1992). Daerah Sumpangminangae merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan selat Makassar di sebelah timur dan masuk dalam Zona D dengan periode ulang Tsunami antara 15-20 Tahun (Subandono, 2007)
Rencana Zonasi Ruang Pesisir di Daerah Sumpangminangae Kota Parepare sebagai bentuk mitigasi untuk menghindari kerusakan ataupun kehancuran yang lebih parah pada daerah pesisir atau Up land atau daerah daratan beserta yang tinggal di dalamnya. Dasar pertimbangan perencanaan dengan melihat fisik kawasan, tata guna lahan serta ruang wilayah secara makro dan Kota secara mikro, yaitu melihat arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Parepare.
TUJUAN
Rencana Zonasi Ruang Pesisir berdasarkan FILOSOFI di atas bertujuan
- Menjaga peradaban baik di darat maupun di laut
- Menjaga keseimbangan antara laut dan darat
- Berusaha bersikap saling menghargai terhadap laut yang memberikan kita sumber daya yang melimpah.

Rencana Zonasi Ruang Pesisir juga bertujuan
- Mengembalikan fungsi asli wilayah pesisir baik sebagai kawasan budidaya serta kawasan lindung
- Meminimalkan atau memperkecil korban jiwa akibat bencana tsunami
- Mencegah kehancuran daerah pesisir akibat bencana tsunami yang menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana vital yang ada di wilayah pesisir.
METODE PENELITIAN
a. Lokasi Penelitian berada di Kawasan Pesisir Sumpangminangae, Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare. Sulawesi Selatan.
b. Analisis didasarkan pada kondisi fisik wilayah serta mempertimbangkan arahan wilayah Kota Parepare secara makro serta kawasan Sumpangminangae secara mikro

GAMBARAN UMUM KOTA PAREPARE
Berdasarkan tinjauan astronomi, Kota Parepare terletak antara 3057’39’’-4004’ 49’’ Lintang Selatan dan 1190 36’ 24’’ - 1190 43’ 40’’ Bujur Timur, sedangkan secara geografis terletak di sebelah barat bagian tengah Propinsi Sulawesi Selatan. Kota Parepare terletak di sebelah utara timur laut Kota Makassar yang berjarak tempuh kurang lebih 3 jam perjalanan atau 155 km.
Kota Parepare secara administrasi dan geografis berbatasan dengan beberapa kabupaten sebagai berikut :
 sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang;
 sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap);
 sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru; dan
 sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Parepare dan Selat Makassar.
Kota Parepare memiliki 21 kelurahan di 3 kecamatan (lihat tabel) yang memanjang dari barat ke timur sepanjang Teluk Parepare atau pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh wilayah belakang (hinterlandnya), yaitu Kabupaten: Pinrang, Enrekang, Sidrap, dan Barru, yang terletak di sebelah barat ke timur Propinsi Sulawesi Selatan. Luas keseluruhan wilayah kota Parepare yang berjarak 155 km dari Kota Makassar adalah 99,33 km2 atau hanya sekitar 0,16 % dari luas keseluruhan Propinsi Sulawesi Selatan (62.641,39 km2).
Kecamatan dan Kelurahan di Kota Parepare tahun 2006
No. Kecamatan Kelurahan Luas (km2) Persentase (%)
1. Bacukiki
Lumpue
Watang Bacukiki
Lemoe
Lompoe
Bumi Harapan
Sumpangminangae
Cappagalung
Tiro Sompe
Kampung Baru 79,70
4,99
25,52
29,75
11,43
6,16
0,31
0,70
0,38
0,46 80,23
5,02
25,69
29,95
11,51
6,20
0,31
0,70
0,38
0,46
2. Ujung
Labukkang
Mallusetasi
Ujung Sabbang
Ujung Bulu
Lapadde 11,30
0,36
0,22
0,36
0,38
9,98 11,38
0,36
0,22
0,36
0,38
10,05
3. Soreang
Kampung Pisang
Lakessi
Ujung Baru
Ujung Lare
Bukit Indah
Watang Soreang
Bukit Harapan 8,33
0,12
0,15
0,48
0,18
1,19
0,65
5,56 8,39
0,12
0,15
0,48
0,18
1,20
0,65
5,56
Jumlah 99,33 100
Sumber : Kota Parepare dalam Angka Tahun 2007

RONA AWAL KAWASAN PESISIR SUMPANGMINANGAE
Kawasan Pesisir Sumpangminangae merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar, dengan mencakup 2 daerah Kelurahan yaitu Limpoe dan Sumpangminangae, dengan total luas daerah 5,3 Km2 atau 5,33 % dari luas Kota Parepare. Kawasan ini masuk dalam Kecamatan Bacukiki, sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Cappagalung, sebelah Barat berbatasan Selat Makassar, sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Watang Bacukiki, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Dapat dilihat pada Peta Administrasi Kawasan Rencana.
Aspek Fisik Wilayah Perencanaan
A. Ketinggian Tempat
Ditinjau dari aspek topografi, Kota Parepare merupakan daerah yang datar sampai bergelombang, dengan klasifikasi yaitu + 80% luas areal merupakan daerah perbukitan dan selebihnya menjadi pusat kota dengan ketinggian + 25 – 500 m dpl. Kawasan Pesisir Sumpangminangae dengan terbagi atas 2 Kelurahan dengan ketinggian pada Kelurahan Limpoe yaitu >700 meter dari permukaan air laut dengan luasan 11,43 Km2, dan kelurahan Sumpangminangae dengan Titik Ketinggian < 500 Meter dari permukaan air laut dengan luasan 0,13 Km2. Dapat dilihat pada peta ketinggian kawasan rencana.
B. Kelerengan
Wilayah Kota Parepare sebagian besar bertopografi tinggi dan bergelombang (tingkat kemiringan 2-40 %), seperti pada umumnya wilayah di bagian timur Propinsi Sulawesi Selatan dan sebagian kecil bertopografi rendah/landai (tingkat kemiringan 0-2 %) pada sebagian kecil bagian baratnya. Kondisi fisik dasar ini sangat mempengaruhi keadaan lingkungan dan permukiman serta sosial ekonomi masyarakatnya. Untuk Wilayah Kawasan Pesisir Sumpangminangae kemiringan tempat yang dominan adalah 0-2 % dan selebihnya 2-30 %. Dapat dilihat pada peta kelerengan kawasan rencana.

C. Tata Guna Lahan
Kota Parepare yang memiliki luas wilayah 9.933 Ha berdasarkan pola pemanfaatan lahannya pada tahun 2006 masih didominasi kawasan hutan yaitu ± 4363,83 Ha atau 43,93% dari luas Kota Parepare. Kondisi tersebut sama pada keadaaan tahun 1999 dan 2000 yang pada umumnya masih tetap didominasi oleh hutan. Sedangkan pemanfaatan lahan untuk permukiman sebagai lokasi hunian bagi penduduk luasnya berkisar 545,10 Ha (5,49%) yang berarti mengalami kenaikan dari luas tahun 1999 yaitu 423,82 Ha (4,26%) dan tahun 2006 yang luasnya 424,00 Ha (4,27%). Untuk lebih jelasnya pola guna lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
Luas dan persentase Penggunaan Lahan menurut Kondisi
di Kota Parepare tahun 1999, 2000 dan 2006
No Penggunaan Lahan 1999 2000 2006
Luas
(Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 Permukiman
Jasa
Industri
Perusahaan
Kebun/Tegalan
Sawah
Tambak
Rawa
Hutan
Padang Rumput
Jalan /Perhungan
Kolam/empang 423,82
71,78
17,32
59,02
2288
933,9
36,05
1,22
3762,92
2058,15
280,25
- 4,26
0,72
0,17
0,59
23,03
9,40
0,36
0,01
37,80
20,72
2,82
- 545,10
71,90
17,32
59,02
1562,05
932,24
36,65
1,22
4363,83
2058,12
285,55
- 5,49
0,72
0,18
0,60
15,72
9,39
0,37
0,01
43,93
20,72
2,87
- 424,00
71,78
17,32
59,02
1.849,00
933,00
14,00
1,00
4.363,83
1.912,50
285,55
2,00 4,27
0,73
0,17
0,59
18,62
9,39
0,15
0,01
43,93
19,25
2,87
0,02
Jumlah 9.933 100 9.933 100 9.933 100
Sumber: Bappeda Kota Parepare, 2008
DASAR PERTIMBANGAN
a. Data Fisik Wilayah Perencanaan
Dalam hal ini data fisik wilayah sangat penting dalam menzonasi ruang pesisir berbasis mitigasi bencana bagian daratan (up land), seperti data guna lahan, ketinggian dan kelerengan lapangan. Hal ini berfungsi mendeneliasi daerah yang potensi rawan tsunami dan daerah bebas tsunami, sehingga salah satu konsep yaitu evakuasi yang ingin kami terapkan dapat tercover dalam zonasi ruang pesisir ini.

b. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Parepare
Berdasarkan fungsi dan peran yang diemban Kota Parepare secara umum seperti yang diuraikan pada penjelasan terdahulu dikaitkan dengan hasil analisis potensi bagian-bagian wilayah kota (BWK), maka dapat ditentukan fungsi Kawasan Pesisir Sumpangminangae masuk dalam BWK F dengan arahan fungsi utama sebagai Kawasan Industri dan Transportasi Darat, serta Fungsi Penunjang sebagai daerah Rekreasi dan permukiman. Dapat dilihat pada lampiran, Peta Pembagian Fungsi BWK Kota Parepare.
c. Undang-undang Tentang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007
UU Tentang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa penataan ruang sebaiknya berbasis Mitigasi Bencana, demi sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan Penghidupan.

c. Peraturan Pemerintah No. PER.16/MEN/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

d. Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil No. 27 tahun 2007

PENENTUAN ZONA
Kawasan Pesisir Sumpangminangae, kami bagi atas 3 zona yaitu
A. ZONA I (ZONA KONSERVASI/RAWAN BENCANA/PENYANGGA I)
Zona ini rawan akan bencana Tsunami, dengan ketinggian didominasi 0-7 meter meter dari permukaan air laut, kelerengan 0-3 %, identifikasi Awal sebagai daerah rawan bencana. Guna lahan yang terjadi di zona ini yaitu permukiman, persawahan, Kebun Campuran dan hutan.
Arahan Zona
zona ini di arahkan pada fungsi kegiatan pada daerah pesisir yaitu :
- Pelestarian Tanaman Mangrove sebagai pertanahan fisik alami daerah pesisir, penanaman tanaman bakau dan nipah di pantai.
- pembangunan tanggul penahan gelombang pasang sebagai pertahanan fisik buatan, daerah Pertambakan,
- Penentuan Sempadan Pantai 125-300 meter dari garis pantai
- Arahan sebagai daerah wisata Bahari merujuk dari RTRWK Parepare
- Arahan tidak di persyaratkan untuk pembangunan perumahan, perkantoran maupun sarana dan prasarana yang sangat vital seperti rumah sakit, pasar, kantor pemerintahan, jaringan listrik, jaringan telepon, dll.
- Menentukan jenis bangunan di daerah pesisir baik itu bagi permukiman nelayan ataupun masyarakat local kawasan tersebut.
- rekayasa ruang dengan pembangunan jalur Evakuasi ke daerah yang lebih tinggi. Daerah ini pada system kelembagaan di syaratkan telah ada system early warming atau pemberitahuan lebih awal serta simulasi rawan bencana sebelumnya.
- dan prasarana daerah pesisir lainnya.

B. ZONA II (ZONA ANTARA/PENYANGGA II)
Zona ini cukup bebas dari gelombang Tsunami, dengan ketinggian 25-500 meter dari permukaan air laut Identifikasi awal Guna lahan yang terjadi di zona ini yaitu permukiman, persawahan dan hutan.
Arahan Zona
- di arahkan pada pembangunan yang sifatnya cukup vital baik sarana dan prasarana maupun arahan untuk budidaya lainnya seperti permukiman, perkantoran, perdagangan, industry dan lain-lain.
- Sebagai daerah wisata dengan status Penyangga II
- Sebagai daerah Permukiman
- Pembangunan jalur Evakuasi ke daerah yang jauh lebih tinggi dan lebih bebas. Daerah ini pada system kelembagaan di syaratkan telah ada system early warming atau pemberitahuan lebih awal serta simulasi rawan bencana sebelumnya.

C. ZONA III (ZONA BEBAS TSUNAMI)
Identifikasi awal Zona ini bebas dari Tsunami, ketinggian dominan > 500 meter dari permukaan air laut, kemiringan lereng 15-40 % hal ini sangat cocok sebagai hunian yang bebas dari tsunami, penempatan sarana dan prasarana vital bagi kota, daerah industry, kantor pusat, militer, daerah perlindungan setempat, dll.
Arahan Zona
- Sebagai Kawasan Lindung Setempat
- Pembangunan sarana vital bagi daerah yang kelerengan < 15 %
- Permukiman serta sarana Vital Perkotaan yang bebas dari gelombang tsunami
- Serta zona evakuasi sebagai tempat atau titik perlindungan dari bencana Tsunami.
- Pembangunan prasarana jalan Evakuasi.

KESIMPULAN
Daerah pesisir Sumpangminangae, merupakan daerah yang sangat beragam secara fisik wilayah yang berbatasan langsung dengan selat Makassar, serta belum dikembangkan sepenuhnya. Oleh karena itu, pembangunan yang akan dilakukan harus mengikuti Zonasi yang telah direncanakan agar dapat mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam seperti tsunami dan dapat memberdayakan masyarakat daerah pesisir yang berprofesi selain nelayan serta menjaga kelestarian laut dan pesisir.
Zonasi kawasan pesisir Sumpangminangae terbagi atas 3 yaitu
a. Zona I daerah konservasi serta identifikasi daerah Rawan bencana
b. Zona II daerah antara atau daerah penyangga yang cukup bebas dari bencana Tsunami.
c. Zona III merupakan daerah yang bebas Tsunami
Rekayasa ruang yang terjadi pembuatan jalur-jalur evakuasi ke daerah zona aman atau bebas Tsunami, namun masyarakat telah diberikan simulasi awal tentang bagaimana menghadapi Tsunami sehingga dapat memperkecil korban jiwa.



DAFTAR PUSTAKA

Diposaptono, Subandono. 2007. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor

Permen No.16 Tahun 2008 Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Parepare Tahun 2001

Salim, Agus. 2008. Materi Kuliah II. Mitigasi Ruang Pesisir. Jurusan PWK -FST UIN Alauddin. Makassar.

UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU No 27 Tahun 2007 Tentang Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

KAWASAN PESISIR SUMPANGMINANGAE , KOTA PARE-PARE BERBASIS MITIGASI TSUNAMI

LATAR BELAKANG
Daerah Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara In Land dan Up land, yaitu perantara antara Laut dan Daratan hal ini menjadikan pesisir menjadi daerah yang sangat memiliki potensi kawasan yang sangat tinggi baik wisata, Industri, permukiman, dll. Namun disamping itu daerah pesisir merupakan daerah yang melindungi daerah daratan karena sebagai daerah bawah yang melindungi daerah atasnya (daratan).
Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan salah satu wilayah yang kaya akan potensi sumber daya laut, wisata, namun juga potensi akan Gelombang Pasang Tsunami (Agus Hendratno, 2005). Selat Makassar masuk dalam Zona D Sesismotektonik dengan 9 kali kejadian Tsunami dalam kurun waktu 400 tahun belakangan (Latief et al, 2000). Di Sulawesi Selatan, bencana Tsunami pernah melanda Kabupaten Majene (1964), Kota Makassar dan Kabupaten Bulukumba (1904), serta Kabupaten Selayar (1964 dan 1992). Daerah Sumpangminangae merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan selat Makassar di sebelah timur dan masuk dalam Zona D dengan periode ulang Tsunami antara 15-20 Tahun (Subandono, 2007)
Rencana Zonasi Ruang Pesisir di Daerah Sumpangminangae Kota Parepare sebagai bentuk mitigasi untuk menghindari kerusakan ataupun kehancuran yang lebih parah pada daerah pesisir atau Up land atau daerah daratan beserta yang tinggal di dalamnya. Dasar pertimbangan perencanaan dengan melihat fisik kawasan, tata guna lahan serta ruang wilayah secara makro dan Kota secara mikro, yaitu melihat arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Parepare.
TUJUAN
Rencana Zonasi Ruang Pesisir berdasarkan FILOSOFI di atas bertujuan
- Menjaga peradaban baik di darat maupun di laut
- Menjaga keseimbangan antara laut dan darat
- Berusaha bersikap saling menghargai terhadap laut yang memberikan kita sumber daya yang melimpah.

Rencana Zonasi Ruang Pesisir juga bertujuan
- Mengembalikan fungsi asli wilayah pesisir baik sebagai kawasan budidaya serta kawasan lindung
- Meminimalkan atau memperkecil korban jiwa akibat bencana tsunami
- Mencegah kehancuran daerah pesisir akibat bencana tsunami yang menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana vital yang ada di wilayah pesisir.
METODE PENELITIAN
a. Lokasi Penelitian berada di Kawasan Pesisir Sumpangminangae, Kecamatan Bacukiki, Kota Parepare. Sulawesi Selatan.
b. Analisis didasarkan pada kondisi fisik wilayah serta mempertimbangkan arahan wilayah Kota Parepare secara makro serta kawasan Sumpangminangae secara mikro

GAMBARAN UMUM KOTA PAREPARE
Berdasarkan tinjauan astronomi, Kota Parepare terletak antara 3057’39’’-4004’ 49’’ Lintang Selatan dan 1190 36’ 24’’ - 1190 43’ 40’’ Bujur Timur, sedangkan secara geografis terletak di sebelah barat bagian tengah Propinsi Sulawesi Selatan. Kota Parepare terletak di sebelah utara timur laut Kota Makassar yang berjarak tempuh kurang lebih 3 jam perjalanan atau 155 km.
Kota Parepare secara administrasi dan geografis berbatasan dengan beberapa kabupaten sebagai berikut :
 sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pinrang;
 sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap);
 sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru; dan
 sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Parepare dan Selat Makassar.
Kota Parepare memiliki 21 kelurahan di 3 kecamatan (lihat tabel) yang memanjang dari barat ke timur sepanjang Teluk Parepare atau pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh wilayah belakang (hinterlandnya), yaitu Kabupaten: Pinrang, Enrekang, Sidrap, dan Barru, yang terletak di sebelah barat ke timur Propinsi Sulawesi Selatan. Luas keseluruhan wilayah kota Parepare yang berjarak 155 km dari Kota Makassar adalah 99,33 km2 atau hanya sekitar 0,16 % dari luas keseluruhan Propinsi Sulawesi Selatan (62.641,39 km2).
Kecamatan dan Kelurahan di Kota Parepare tahun 2006
No. Kecamatan Kelurahan Luas (km2) Persentase (%)
1. Bacukiki
Lumpue
Watang Bacukiki
Lemoe
Lompoe
Bumi Harapan
Sumpangminangae
Cappagalung
Tiro Sompe
Kampung Baru 79,70
4,99
25,52
29,75
11,43
6,16
0,31
0,70
0,38
0,46 80,23
5,02
25,69
29,95
11,51
6,20
0,31
0,70
0,38
0,46
2. Ujung
Labukkang
Mallusetasi
Ujung Sabbang
Ujung Bulu
Lapadde 11,30
0,36
0,22
0,36
0,38
9,98 11,38
0,36
0,22
0,36
0,38
10,05
3. Soreang
Kampung Pisang
Lakessi
Ujung Baru
Ujung Lare
Bukit Indah
Watang Soreang
Bukit Harapan 8,33
0,12
0,15
0,48
0,18
1,19
0,65
5,56 8,39
0,12
0,15
0,48
0,18
1,20
0,65
5,56
Jumlah 99,33 100
Sumber : Kota Parepare dalam Angka Tahun 2007

RONA AWAL KAWASAN PESISIR SUMPANGMINANGAE
Kawasan Pesisir Sumpangminangae merupakan daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan Selat Makassar, dengan mencakup 2 daerah Kelurahan yaitu Limpoe dan Sumpangminangae, dengan total luas daerah 5,3 Km2 atau 5,33 % dari luas Kota Parepare. Kawasan ini masuk dalam Kecamatan Bacukiki, sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Cappagalung, sebelah Barat berbatasan Selat Makassar, sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Watang Bacukiki, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Barru. Dapat dilihat pada Peta Administrasi Kawasan Rencana.
Aspek Fisik Wilayah Perencanaan
A. Ketinggian Tempat
Ditinjau dari aspek topografi, Kota Parepare merupakan daerah yang datar sampai bergelombang, dengan klasifikasi yaitu + 80% luas areal merupakan daerah perbukitan dan selebihnya menjadi pusat kota dengan ketinggian + 25 – 500 m dpl. Kawasan Pesisir Sumpangminangae dengan terbagi atas 2 Kelurahan dengan ketinggian pada Kelurahan Limpoe yaitu >700 meter dari permukaan air laut dengan luasan 11,43 Km2, dan kelurahan Sumpangminangae dengan Titik Ketinggian < 500 Meter dari permukaan air laut dengan luasan 0,13 Km2. Dapat dilihat pada peta ketinggian kawasan rencana.
B. Kelerengan
Wilayah Kota Parepare sebagian besar bertopografi tinggi dan bergelombang (tingkat kemiringan 2-40 %), seperti pada umumnya wilayah di bagian timur Propinsi Sulawesi Selatan dan sebagian kecil bertopografi rendah/landai (tingkat kemiringan 0-2 %) pada sebagian kecil bagian baratnya. Kondisi fisik dasar ini sangat mempengaruhi keadaan lingkungan dan permukiman serta sosial ekonomi masyarakatnya. Untuk Wilayah Kawasan Pesisir Sumpangminangae kemiringan tempat yang dominan adalah 0-2 % dan selebihnya 2-30 %. Dapat dilihat pada peta kelerengan kawasan rencana.

C. Tata Guna Lahan
Kota Parepare yang memiliki luas wilayah 9.933 Ha berdasarkan pola pemanfaatan lahannya pada tahun 2006 masih didominasi kawasan hutan yaitu ± 4363,83 Ha atau 43,93% dari luas Kota Parepare. Kondisi tersebut sama pada keadaaan tahun 1999 dan 2000 yang pada umumnya masih tetap didominasi oleh hutan. Sedangkan pemanfaatan lahan untuk permukiman sebagai lokasi hunian bagi penduduk luasnya berkisar 545,10 Ha (5,49%) yang berarti mengalami kenaikan dari luas tahun 1999 yaitu 423,82 Ha (4,26%) dan tahun 2006 yang luasnya 424,00 Ha (4,27%). Untuk lebih jelasnya pola guna lahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
Luas dan persentase Penggunaan Lahan menurut Kondisi
di Kota Parepare tahun 1999, 2000 dan 2006
No Penggunaan Lahan 1999 2000 2006
Luas
(Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%) Luas (Ha) Luas (%)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12 Permukiman
Jasa
Industri
Perusahaan
Kebun/Tegalan
Sawah
Tambak
Rawa
Hutan
Padang Rumput
Jalan /Perhungan
Kolam/empang 423,82
71,78
17,32
59,02
2288
933,9
36,05
1,22
3762,92
2058,15
280,25
- 4,26
0,72
0,17
0,59
23,03
9,40
0,36
0,01
37,80
20,72
2,82
- 545,10
71,90
17,32
59,02
1562,05
932,24
36,65
1,22
4363,83
2058,12
285,55
- 5,49
0,72
0,18
0,60
15,72
9,39
0,37
0,01
43,93
20,72
2,87
- 424,00
71,78
17,32
59,02
1.849,00
933,00
14,00
1,00
4.363,83
1.912,50
285,55
2,00 4,27
0,73
0,17
0,59
18,62
9,39
0,15
0,01
43,93
19,25
2,87
0,02
Jumlah 9.933 100 9.933 100 9.933 100
Sumber: Bappeda Kota Parepare, 2008
DASAR PERTIMBANGAN
a. Data Fisik Wilayah Perencanaan
Dalam hal ini data fisik wilayah sangat penting dalam menzonasi ruang pesisir berbasis mitigasi bencana bagian daratan (up land), seperti data guna lahan, ketinggian dan kelerengan lapangan. Hal ini berfungsi mendeneliasi daerah yang potensi rawan tsunami dan daerah bebas tsunami, sehingga salah satu konsep yaitu evakuasi yang ingin kami terapkan dapat tercover dalam zonasi ruang pesisir ini.

b. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Parepare
Berdasarkan fungsi dan peran yang diemban Kota Parepare secara umum seperti yang diuraikan pada penjelasan terdahulu dikaitkan dengan hasil analisis potensi bagian-bagian wilayah kota (BWK), maka dapat ditentukan fungsi Kawasan Pesisir Sumpangminangae masuk dalam BWK F dengan arahan fungsi utama sebagai Kawasan Industri dan Transportasi Darat, serta Fungsi Penunjang sebagai daerah Rekreasi dan permukiman. Dapat dilihat pada lampiran, Peta Pembagian Fungsi BWK Kota Parepare.
c. Undang-undang Tentang Penataan Ruang No 26 Tahun 2007
UU Tentang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 menjelaskan bahwa penataan ruang sebaiknya berbasis Mitigasi Bencana, demi sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan Penghidupan.

c. Peraturan Pemerintah No. PER.16/MEN/2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

d. Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil No. 27 tahun 2007

PENENTUAN ZONA
Kawasan Pesisir Sumpangminangae, kami bagi atas 3 zona yaitu
A. ZONA I (ZONA KONSERVASI/RAWAN BENCANA/PENYANGGA I)
Zona ini rawan akan bencana Tsunami, dengan ketinggian didominasi 0-7 meter meter dari permukaan air laut, kelerengan 0-3 %, identifikasi Awal sebagai daerah rawan bencana. Guna lahan yang terjadi di zona ini yaitu permukiman, persawahan, Kebun Campuran dan hutan.
Arahan Zona
zona ini di arahkan pada fungsi kegiatan pada daerah pesisir yaitu :
- Pelestarian Tanaman Mangrove sebagai pertanahan fisik alami daerah pesisir, penanaman tanaman bakau dan nipah di pantai.
- pembangunan tanggul penahan gelombang pasang sebagai pertahanan fisik buatan, daerah Pertambakan,
- Penentuan Sempadan Pantai 125-300 meter dari garis pantai
- Arahan sebagai daerah wisata Bahari merujuk dari RTRWK Parepare
- Arahan tidak di persyaratkan untuk pembangunan perumahan, perkantoran maupun sarana dan prasarana yang sangat vital seperti rumah sakit, pasar, kantor pemerintahan, jaringan listrik, jaringan telepon, dll.
- Menentukan jenis bangunan di daerah pesisir baik itu bagi permukiman nelayan ataupun masyarakat local kawasan tersebut.
- rekayasa ruang dengan pembangunan jalur Evakuasi ke daerah yang lebih tinggi. Daerah ini pada system kelembagaan di syaratkan telah ada system early warming atau pemberitahuan lebih awal serta simulasi rawan bencana sebelumnya.
- dan prasarana daerah pesisir lainnya.

B. ZONA II (ZONA ANTARA/PENYANGGA II)
Zona ini cukup bebas dari gelombang Tsunami, dengan ketinggian 25-500 meter dari permukaan air laut Identifikasi awal Guna lahan yang terjadi di zona ini yaitu permukiman, persawahan dan hutan.
Arahan Zona
- di arahkan pada pembangunan yang sifatnya cukup vital baik sarana dan prasarana maupun arahan untuk budidaya lainnya seperti permukiman, perkantoran, perdagangan, industry dan lain-lain.
- Sebagai daerah wisata dengan status Penyangga II
- Sebagai daerah Permukiman
- Pembangunan jalur Evakuasi ke daerah yang jauh lebih tinggi dan lebih bebas. Daerah ini pada system kelembagaan di syaratkan telah ada system early warming atau pemberitahuan lebih awal serta simulasi rawan bencana sebelumnya.

C. ZONA III (ZONA BEBAS TSUNAMI)
Identifikasi awal Zona ini bebas dari Tsunami, ketinggian dominan > 500 meter dari permukaan air laut, kemiringan lereng 15-40 % hal ini sangat cocok sebagai hunian yang bebas dari tsunami, penempatan sarana dan prasarana vital bagi kota, daerah industry, kantor pusat, militer, daerah perlindungan setempat, dll.
Arahan Zona
- Sebagai Kawasan Lindung Setempat
- Pembangunan sarana vital bagi daerah yang kelerengan < 15 %
- Permukiman serta sarana Vital Perkotaan yang bebas dari gelombang tsunami
- Serta zona evakuasi sebagai tempat atau titik perlindungan dari bencana Tsunami.
- Pembangunan prasarana jalan Evakuasi.

KESIMPULAN
Daerah pesisir Sumpangminangae, merupakan daerah yang sangat beragam secara fisik wilayah yang berbatasan langsung dengan selat Makassar, serta belum dikembangkan sepenuhnya. Oleh karena itu, pembangunan yang akan dilakukan harus mengikuti Zonasi yang telah direncanakan agar dapat mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam seperti tsunami dan dapat memberdayakan masyarakat daerah pesisir yang berprofesi selain nelayan serta menjaga kelestarian laut dan pesisir.
Zonasi kawasan pesisir Sumpangminangae terbagi atas 3 yaitu
a. Zona I daerah konservasi serta identifikasi daerah Rawan bencana
b. Zona II daerah antara atau daerah penyangga yang cukup bebas dari bencana Tsunami.
c. Zona III merupakan daerah yang bebas Tsunami
Rekayasa ruang yang terjadi pembuatan jalur-jalur evakuasi ke daerah zona aman atau bebas Tsunami, namun masyarakat telah diberikan simulasi awal tentang bagaimana menghadapi Tsunami sehingga dapat memperkecil korban jiwa.



DAFTAR PUSTAKA

Diposaptono, Subandono. 2007. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Buku Ilmiah Populer. Bogor

Permen No.16 Tahun 2008 Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Parepare Tahun 2001

Salim, Agus. 2008. Materi Kuliah II. Mitigasi Ruang Pesisir. Jurusan PWK -FST UIN Alauddin. Makassar.

UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU No 27 Tahun 2007 Tentang Undang-undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil.

Friday, April 17, 2009

Metode Pendekatan Dalam Ilmu Islam & Karakteristik Ajaran Islam : Dalam Bidang Perencanaan Wilayah & Kota





Salah 1 metode Pendekatan dalam Islam yaitu secara Empirik. Dalam hal ini saya Cuma mengambil 2 kategori yaitu
1) Empirical Science, yakni ukuran benar tidaknya adalah dibuktikan secara empirik melalui eksperimen. Sumbernya adalah pancaindera, terutama mata. Mata itu bahasa Arabnya adalah ain, maka disebutlah ainul yaqin . Yang termasuk ke dalam empirical science antara lain kedokteran, fisika, kimia, bilogi, goelogi.
Dalam kaitan Karakteristik Islam dalam Ilmu perencanaan Wilayah dengan menggunakan pendekatan Empirical Science, yaitu bahwa dengan melaksanakan eksperimen atau kajian secara mendalam terhadap wilayah atau ruang secara dapat dengan sadar mampu mendekatkan diri pada yang maha kuasa karena hasil eksperimen kajian perencanaan wilayah dan kota memberikan gambaran bahwa alam diciptakan untuk dimanfaatkan manusia serta untuk dijaga oleh manusia.

Menjelaskan tentang kehidupan sekitar
Agama islam selalu memberikan tentang penjelasan sekitar kita, baik manusia (individu), kelompok (komunitas), social (society), lingkungan, hewan, tumbuhan dan lain-lain. Manusia diharapkan serta diajak untuk memahami agama islam untuk kehidupannya serta kehidupan manusia dan lingkungan di sekitarnya. Ajaran agama islam selalu sesuai dengan perkembangan zaman baik past and future.


Contoh Ayat tentang Lingkungan Alam

Artinya :Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.
Menjelaskan Bagaimana kita menghargai Alam
Ajaran agama islam mengajarkan kita untuk menghargai alam disekitar kita. Sehingga alam tidak berbalik memusuhi ataupun melukai manusia. Dalam perencanaan wilayah bagaimana manusia dapat menggunakan sumberdaya yang sebanyak-banyaknya namun tetap harus ditetapkan kawasan lindung, jalur hijau, taman kota, mangrove, cathment area, kawasan bergambut, dll. Untuk tetap menjaga kelestarian alam, baik tanah, udara dan air.

Artinya Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).



2) Rational Science , ialah ilmu yang kebenarannya ditentukan oleh hubungan sebab – akibat. Kalau ada hubungan yang logis disebutlah rational. Sumbernya adalah ratio, maka disebutlah ilmul yaqin. termasuk ke dalam kategori ilmu ini antara lain bahasa, filsafat, matematika.
Dalam kaitan Karakteristik Islam dalam Ilmu perencanaan Wilayah dengan menggunakan pendekatan Rational Science, yaitu bahwa dengan mengkaji sebab akibat dalam sebuah erencanaan dapat menjadi salah satu pendektan dalam mendalami ilmu agama islam. Sebagai contoh perencanaan Daerah Aliran Sungai (DAS), dalam perencanaan DAS, dari DAS Hulu, DAS Tengah, sert DAS Hilir haruslah terencana dengan baik. Dari hulu, kita diarahkan sebagai konservasi kawasan hutan atau kawasan daerah resapan air, sehingga dibagian hilir tidak akan menjadi banjir ataupun terjadi Run-Off yang berlebihan diakibatkan bagian Hulu yang tidak terawat dan diarahkan dengan baik. Begitupun daerah Hilir dan tengah diusahakan tidak terjadi pendangkalan ataupun sedimentasi dan diarahkan 150 meter sepanjang DAS Tengah dan DAS Hilir sebagai Buffer Zone atau kawasan penyanggga. Hal ini sehingga proses siklus atau daur air kembali kehulu dapat terjadi. Hal ini salah satu contoh sebab-akibat yang mampu mengantarkan kita bahwa betapa besar karunia Allah yang harus kita jaga. Seperti surat berikut ini

Surah Nuh Ayat 12

Artinya Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.

Thursday, April 16, 2009

Pentingnya Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Studi Kasus di Kota Makassar, Sulawesi Selatan)






Abstrak
Wilayah Pesisir dan kepulauan, merupakan wilayah yang kaya akan potensi sumber daya sehingga perlu di kelola serta dikendalikan, agar sumber daya yang terkandung di dalamnya dapat di manfaatkan dengan sebaik mungkin demi kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir pada khususnya dan wilayah upland pada umumnya. Khususnya di Indonesia, dengan letaknya yang sangat strategis yaitu terletak di daerah tropis. Sekitar 75 % dari luas wilayah nusantara merupakan lautan dengan 81.000 Km2 panjang garis pantai Indonesia atau sekitar 14 % dari panjang garis pantai dunia dengan luas lautan sekitar 5,8 juta Km2. Memiliki sekitar 17.000 pulau yang terdiri dari sekitar 1.000 pulau yang berpenghuni dan sekitar 16.000 buah pulau yang tidak berpenghuni (DKP, 2002). Begitu kaya Indonesia akan pulau dan wilayah pesisir memberikan gambaran bahwa sumber daya yang terkandung di dalamnya sangat melimpah. Sehingga perlunya penataan ruang pesisir dan kepulauan di wilayah pesisir sehingga tercipta tata ruang yang serasi, selaras dan seimbang dalam pengembangan serta mengatur hubungan antar fungsi ruang guna tercapainya tata ruang yang berkualitas. Studi kasus di Kota Makassar, pesisir Kota Makassar merupakan wilayah pertumbuhan awal terbentuk dan berkembangnya Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Beberapa pendekatan dalam Makalah ini coba diuraikan berdasarkan studi kasus dengan membahas beberapa langkah-langkah tentang penataan wilayah pesisir, mulai dari rencana, zonasi, manajemen serta rencana tindak atau design. Seperti yang diamanatkan oleh UU No. 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Permen No. 16 Tahun 2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Kepemen No. 34 Tahun 2002 Tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Kata Kunci : Pesisir, Kepulauan, pulau kecil, penataan, ruang

Latar Belakang
Kawasan pesisir pesisir merupakan wilayah perairan laut yang terkait dengan kegiatan budidaya dan wilayah daratan yang berada di belakang garis sempadan pesisir yang secara langsung berkaitan dengan kegiatan sosial ekonomi di wilayah sempadan pesisir dan perairan laut.
Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, bahwa daerah pesisir di hitung ke daerah darat yaitu dari garis pantai sampai batas administrasi, sedangkan ke laut dihitung dari garis pantai sepanjang 12 mil ke arah pantai. Sehingga kawasan pesisir merupakan daerah atau kawasan yang kaya akan potensi baik dari sis ekonomi, Wisata, Sumber daya serta potensi besar bencana.
Penataan ruang wilayah pesisir dan laut relatif lebih dinamis dibandingkan dengan penataan ruang wilayah daratan. Dari ketiga aspek yang mempengaruhi penataan ruang, yaitu aspek fisik, sosial dan ekonomi, ketiganya relatif lebih dinamis pada penataan ruang wilayah pesisir.
Aspek fisik pada penataan ruang wilayah daratan hampir tidak berubah selama berlakunya rencana tata ruang, kecuali jika terjadi bencana alam yang merubah secara drastis rupa bumi wilayah perencanaan. Sebaliknya penataan ruang pada wilayah pesisir, perubahan aspek fisik harus diperhatikan secara khusus, karena wilayah pesisir merupakan bentang alam yang senantiasa berubah akibat intensifnya gaya-gaya di daratan dan di lautan. Di samping akibat gaya-gaya yang bersifat alamiah tersebut, wilayah pesisir dapat pula berubah akibat perbuatan manusia, proses reklamasi dan lagunisasi merupakan dua contoh yang mulai banyak terjadi di Indonesia.
Dilihat dari aspek ekonomi, wilayah pesisir juga mengakibatkan perubahan yang sangat cepat pada nilai atau opportunity cost dari lahan pesisir. Kebutuhan pengembangan pelabuhan akibat membengkaknya arus perdagangan, kebutuhan lahan untuk pengembangan Water Front City akibat bertambahnya jumlah penduduk yang berpendapatan menengah ke atas yang menuntut adanya lokasi permukiman yang lebih berkualitas, pengembangan tambak akibat kenaikan permintaan ikan/udang di pasar dunia, eksploitasi lahan pesisir menjadi tambang galian C akibat berbagai kepentingan dalam kebijakan peningkatan pendapatan, merupakan empat contoh klasik dari dinamika perekonomian yang memiliki dampak yang cukup besar terhadap penataan ruang wilayah pesisir.
Dilihat dari aspek pariwisata, kawasan pesisir merupakan kawasanyang sangat potensial sebagai daerah wisata dengan vista (water body) yang cantik, tipologi daerah yang menarik, serta udara dan pemandangan (view) yang sangat mendukung. Begitupun dengan aspek sumberdaya, 12 mil ke arah perairan merupakan daerah tangkapan ikan atau sumber daya perikanan serta rumput laut yang sangat melimpah. Terumbu karang juga sebagai objek wisata pesisir yang sangat langka dan sangat menarik secara internasional.
Dilihat secara potensi bencana, daerah pesisir Indonesia 70 % dapat dikatakan seluruhnya adalah daerah rawan bencana tsunami, serta rawan gempa. Hal ini disebabkan pesisir Indonesia diapit oleh 3 lempeng besar yaitu lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Lempeng Pasifik, sehingga ketika salah satu lempeng dengan lempeng bersentuhan atau saling bergeser maka akan terjadi gempa bawah laut yang membuat terjadinya Tsunami. Bencana lainnya dapat berupa abrasi air laut yang dapat menghancurkan tepi pantai. SLR (sea Level Rise) atau kenaikan muka air laut akibat Global Warming.
Dalam konteks ini, penataan ruangwilayah pesisir agar kawasan pesisir dan kepulauan dapat menjadi kawasan yang sangat strategis serta kawasan yang mampu memberikan pendapatan di daerah belakangnya. Khususnya di Kota Makassar, perkembangan Kota Makassar berawal dari pesisir Kota Makassar, sehingga perlu pengelolaan serta pengendalian secara prinsip yang mampu mempertahankan nilai historis, nilai fisik lahan, nilai wisata, nilai ekonomi, serta nilai social yang terkandung di dalam kawasan pesisir Kota Makassar.

Pengertian Ruang Pesisir
Wilayah pesisir menurut UU 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil pasal 1 mengantakan bahwa Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Wilayah pesisir menurut UU ini bahwa dari garis pantai sampai batas administrasi, sedangkan ke laut dihitung dari garis pantai sepanjang 12 mil ke arah pantai. Wilayah pesisir sebagai wilayah homogen adalah wilayah yang memiliki sumber daya yang memproduksi ikan, namun juga bias dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong di garis kemiskinan, sebagai wilayah Nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan intinya (Sugeng, 2005).
Kawasan pesisir meliputi wilayah daratan yang terkait pada wilayah perairan maupun wilayah laut berppengaruh terhada wilayah daratan dan tata guna tanah. Di luar dari batas dari kawasan pesisir dan laut yang dimaksud itu mungkin saja mencerminkan interaksi antara pesisir dan laut, tetapi dapat pula tidak terjadi interaksi pesisir dan laut. Pada kawasan pesisir terdapat banyak penduduk dan pusat-pusat transportasi, tempat pendaratan ikan, kegiatan pertanian yang penting, industry (usaha) di bidang perikanan dan pariwisata, serta menempatkan kawasan tersebut merupakan struktur lahan yang penting untuk lkasi barbagai fasilitas (prasarana dan sarana) pelayanan umum (ekonomi dan sosial).
1. Batasan kawasan pantai (pesisir) dan perairan laut
Kawasan pesisir meliputi wilayah daratan yang terkait pada wilayah perairan maupun wilayah laut berpengaruh terhadap wilayah daratan dan tata guna tanah. Di luar dari batas dari kawasan pesisir dan laut yang dimaksud itu mungkin saja mencerminkan interaksi antara pesisir dan laut, tetapi dapat pula tidak terjadi interaksi pesisir dan laut. Pada kawasan pesisir terdapat banyak penduduk dan pusat-pusat transportasi, tempat pendaratan ikan, kegiatan pertanian yang penting, industry (usaha) di bidang perikanan dan pariwisata, serta menempatkan kawasan tersebut merupakan struktur lahan yang penting untuk berbagai fasilitas (prasarana dan sarana) pelayanan umum (ekonomi dan sosial).
Kawasan pesisir memiliki kekayaan dan kebhinekaan sumber daya alam. Pesisir pantai dan habitat (hutan bakau, estuary, daerah tambak, terumbu karang, rumput laut, delta dan lainnya) merupakan daerah yang produktif secara bilogi tetapi mudah mengalami degradasi karena peristiwa alamiah. Kawasan pesisir telah mensupport sebagian besar penduduk dunia karena peranannya di bidang ekonmi dan budaya, kawasan pesisir diharapkan akan menampung pertumbuhan penduduk pada masa depan. Beban peningkatan jumlah penduduk mendorong peningkatan pembangunan yang membawa dampak peningkatan polusi, berkurangnya habitat (jenis ikan dan satwa,) erosi pesisir/pantai, intrusi air asin/laut, dan dampaknya terhadap peningkatan permukaan laut.

Pendekatan System untuk Perencanaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pengelolaan kawasan pesisir dan lautan dilakukan secara terpadu, meliputi kawasan daratan dan kawasan lautan, mencakup berbagai sector yang berbeda, menyangkut interaksi pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan serta kegiatan dan perilaku sumberdaya manusia, yang mempunyai berbaga aspek (Phisik, biologi, kimia, ekonomi-sosial, kelembagaan dan lainnya) dan seringkali menyangkut kepentingan dari wilayah administrasi yang berbeda.
Dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan diperlukan partisipasi pakar-pakar dari berbagai bidang ilmu (marine scientist, ecologist, social scientist, lawyer, engineer, economist, agronomist, architect, dan lainnya) yang masing-masing mempunyai pendekatan yang berbeda, masing-masing berupaya untuk mempertahankan kedaulatan intelektualnya. Suatu system general kerangka dasar teori dapat melunakkan hambatan-hambatan tersebut. Pendekatan yang dikembangkan adalah inter-disciplinary approach.
Dalam suatu pendekatan multi-disiplin, suatu persoalan diinvestigasi dan dianalisis dengan cara membagi kedalam persoalan-persoalan disiplin dan profesi masing-masing dan pemecahannya secara independen. Solusi akhir merupakan agregat dari solusi-solusi secara terpisah. Pada umumnya perencanaan multi-disiplin sangat kurang memuaskan.
Dalam suatu pendekatan inter-disiplin, suatu persoalan dipecahkan secara menyeluruh oleh disiplin-disiplin yang berbeda-beda yang dilakukan dengan bekerja bersama-sama. Cara ini menghasilkan sistesis pengetahuan dalam ilmu, teknologi dan humaniora. Integrasi disipin-disiplin menghasilkan sintesis metoda dan pengetahuan yang lebih luas dan hasilnya biasanya lebih sempurna dan merupakan solusi yang dapat dikerjakan (workabel).
Perencanaan kawasan pesisir dikerjakan oleh departemen-departemen pemerintah secara nasional (dapat pula) dibantu oleh international agencies dan pemerintah daerah setempat.
Metode ilmiah yang paling resen adalah “pendekatan sistem”. Dalam pemecahan masalah dimaklumi pentingnya analisis isu-isu secara terpisah, namun menekankan suatu pandangan yang sempurna dari semua isu atau system terlibat. Dengan perkataan lain, pendekatan system digunakan untuk melihat/meneliti hal-hal secar bersama-sama melalui sintesis. Ackoff (1974) mengatakan bahwa kita berada dalam permulaan Abad Sistem. Aplikasi pendekatan system untuk perencanaan sebenarnya bukan hal baru. Peter (1976) menyatakan bahwa dari sejarah manusia telah mengerjakan observasinya (ke) dalam system.
Dalam konteks kawasan pesisir dan lautan, planning, design, dan management process adalah penting. Planning, design dan management process adalah interactive dan independent
• Planning : adalah suatu proses yang berurusan dengan suatu system persoalan-persoalan, yang dilihat dari perspektif “holistik” atau total, dengan maksud menentukan solusi secara rasional terhadap persoalan-persoalan tersebut. Suatu contoh perencanaan adalah pengembangan suatu strategi untuk mensurvei suatu daerah dengan maksud memiliki lokasi taman laut atau pengembangan rencana pengawasan.
• Designe : adalah suatu proses yang diturunkan (berasal) dari planning dalam mana solusi solusi-solusi diuji dan /atau diimplementasikan secara kreatif. Contohnya adalah desain arsitektural dari suatu pusat taman regional untuk mengatur kunjungan para pengunjung.
• Management : adalah suatu proses untuk mengontrol dan mengarahkan solusi yang telah dirancang. Contohnya adalah implementasi program pengawasan untuk monitor, mengatur atau mengontrol untuk menunjang pencapaian sasaran planning dan design.
Unsur penting lainnya dalam proses planning adalah penggunaan peralatan perencanaan yang dapat dipakai. Beberapa dari banyak peralatan dan teknik yang dapat dipakai untuk marine park (taman laut) misalnya, meliputi : mapping (yang digambar denag tangan atau metode komputer), remote sensing (pengindaraan jarak jauh) melalui satelit dan interpretasinya, cross-section dan skeetchees, interpretasi bawah air, photodan film, kamera televise bawah air, sonar, dan electronic display sceens.
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir dan laut telah mendapat perhatian yang semakin penting oleh sebagian besar Negara-negara yang mempunyai pantai luas/panjang. Terdapat kecenderungan bahwa wilayah pantai mengalami kerusakan karena factor dalam (abrasi) atau akibat dari ulah manusia yang sengaja atau tidak sengaja merusak lingkungan.
Dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kawasan pesisir dan laut menyangkut pendekatan multi-disiplin dan inter-disiplin, melibatkan pakar-pakar dari berbagai idang ilmu. Dalam konteks kawasan pesisir laut itu, planning, design, dan management adalah bersifat interactive dan interdependent.
Indonesia sebagai negara maritime yang terbesar di dunia yang berarti memiliki pantai/pesisir terpanjang, merupakan tuntutan dan kebutuhan untuk menyempurnakan pengelolaan kawasan pesisirnya, dengan demikian diharapkan pemanfaatan sumberdayanya dapat terlaksana lebih efektif dan efesiens, dapat secara produktif dan optimal dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan, yang berwawasan lingkungan perlu dukungan peningkatan pengetahuan dan keterampilan para perencana pembangunan dan perumus/pembuat kebijakan pembangunan serta diperlukan pula dana dan kesadaran masyarakat menjaga kelestarian lingkungan terutama pada kawasan pesisir dan laut disamping peraturan perundang-undangan untuk mengurangi/membatasi dilakukannya tindakan-tindakan yang negative terhadap kelestarian lingungan.
Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Kota Makassar
Pesisir Kota Makassar merupakan kawasan awal pertama kali tumbuh serta berkembangnya pesatnya Kota Makassar. Hal ini dikarenakan pelabuhan dan benteng Fort Rotterdam yang menjadi kunci pertumbuhan perdagangan, perekonomian, dll. Wilayah Kota Makassar dengan luas 175,77 km2, dengan Pertumbuhan wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di Kota Makassar seiring dengan pertumbuhan ekonomi maritime Kota Makassar, namun lambat laun akibat pergeseran aktivitas, kebutuhan ruang, serta ekspansi masyarakat sehingga daerah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar ditinggalkan sehingga sekarang menjadi daerah kumuh, terbelakang, pinggiran, Pheri-pheri dan menjadi buangan kotoran atau limbah masyarakat kota ke wilayah pesisir dan Pulau Kecil di Makassar.

Sumber : RTRW Kota Makassar, 2005
a. Kondisi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makasar
Kedalaman perairan pantai Kota Makassar disekitar dermaga Soekarno-Hatta menunjukan kedalaman yang bervariasi antara 9 – 17 m yang secara umum di bagian utara cenderung menjadi lebih dalam, dengan garis kontour sejajar garis dermaga. Daerah laut yang terdalam terdapat pada jarak 650 m dari dermaga dengan kedalaman hingga 17 m.
Disekitar sungai Janeberang secara umum memperlihatkan topografi yang landai dengan kemiringan lereng 0 – 15° dengan kedalaman 0 – 20 m sepanjang 750 m ke arah laut. Perairan yang tepat berada di depan muara sungai Janeberang mempunyai kemiringan lereng 30 – 40° dengan kedalaman 0 – 20 m.
Penelitian mengenai tipe pasang surut dipesisir kota Makassar dilakukan di tiga tempat, yaitu di Pantai Tanjung Alam, Pantai Barombong dan di muara Sungai Jeneberang. Tipe pasang surut di Pantai Tanjung Alam adalah campuran condong ke harian tunggal, dengan bentuk topografi dasar laut landai, pasang surut yang ditemukan di Pantai Barombong adalah tipe campuran mendekati semidiurnal dan juga dikategorikan sebagai pantai landai, sedangkan tipe pasang surut di muara Sungai Jeneberang yaitu tunggal.
Data meteorologi mengenai arah angin pembangkit ombak dan arus bertiup dari arah Barat Daya, Barat, Barat Laut dan Utara. Kecepatan angin yang dominan terjadi adalah 8,0 – 10,7 m/detik (64 %). Arus yang terjadi cenderung bergerak ke utara menyusur pantai. Kecepatan rerata arus permukaan 0,058 m/s. Kecepatan rerata arus estimasi 0,94 m/detik maksimum pada musim barat. Di pantai Tanjung Alam memiliki perairan tenang hingga berombak terukur 0,14 – 0,25 m dengan periode rata-rata 4,5 – 5,3 detik, hasil estimasi ombak menunjukkan bahwa tinggi ombak bervariasi antara 0,44 – 2,24 m dengan periode antara 2,57 – 6,67 detik dan maksimum pada musim barat. Adapun kecepatan arus di pulau Barrang Lompo serta perairan di sekitarnya berkisar antara 0,01 – 0,33 ± 0,05 m/detik.
Sebaran sedimen yang lain datang dari sungai Tallo dengan debit alir 143,07 liter/ detik. Kecepatan sedimentasi sungai Tallo yang bermuara di pelabuhan Paotere berkisar antara 29,6 hingga 76,1 cm dengan rata-rata kecepatan sedimentasi 52,85 cm/tahun. Lambatnya kecepatan aliran sungai Tallo dengan laju sedimentasi yang cukup tinggi, menimbulkan kecen-derungan mengalami perubahan alur membentuk meander. Ditambah dengan kondisi kemiringan yang landai (1/10.000) dan pasang surut air laut yang dapat menjalar hingga jarak 20 km, maka kecepatan sedimentasi seperti ini menjadi rawan bagi daerah pelabuhan Paotere, pemukiman termasuk Kawasan Industri Makassar.
Pada pantai Kota Makassar khusus-nya pantai Losari sudah didapati kandungan limbah yang berasal dari terurainya bahan-bahan organik yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga, perhotelan, dan pedagang kaki lima. Hal ini menurunkan kualitas air yang secara fisik ditandai dengan perubahan warna air laut dan bau yang tak sedap.
Pada kawasan pesisir pantai Kota Makassar, dapat diidentifikasikan tiga komponen ekosistem, yaitu ekosistem estuari, mangrove, dan terumbu karang.
Ekosistem estuari berada di muara sungai Janeberang dan aliran pasut. Sifat khas ekosistem ini adalah suatu ekosistem yang merupakan pertemuan dan pencampuran antara perairan air tawar dengan perairan laut. Sifat khas lainnya senantiasa berasosiasi dengan bentuk-bentuk lahan pesisir seperti delta, mangrove, dan lainnya. Dari kedua ekosistem estuari yang ada, yaitu estuari Janeberang lebih banyak dipengaruhi oleh suplai material sedimen dan air tawar, sedangkan pada saluran pasut Tallo, media ekosistemnya memanfaatkan hampir sepanjang saluran tersebut. Kawasan-kawasan genangan Tallo semakin menjauh dari muaranya dan semakin banyak ditumbuhi oleh vegetasi nipah hingga kawasan-kawasan pengaruhnya.

Ekosistem mangrove banyak dipengaruhi oleh ekosistem estuari sehingga keberadaannya di pantai Kota Makassar berasosiasi dengan ekosistem tersebut. Lokasinya di delta dan muara sungai Janeberang serta saluran pasut Tallo. Keberadaannya tidak tergantung semata terhadap suplai air tawar semata, tetapi juga oleh air laut yang dijumpai sepanjang garis pantai kecamatan Biringkanaya dan spit Tanjung Bunga. Pada tahun 80-an masih
sering dijumpai ekosistem mangrove yang lebat dan subur.
Ekosistem terumbu karang pada umumnya terdapat si sekitar gugus pulau Sangkarang, yaitu pulau Baranglompo, Samalona, Gusung, Kodingareng, Lae-lae, Kahyangan, dan lainnya. Selain itu juga didapati pada perairan dangkal di gusung Tuara, Lara, Trambanusa, Panyoa, Boni, dan lainnya. Ekosistem terumbu karang yang hidup relatif dekat dengan daratan Kota Makassar adalah pulau Lae-lae, Kahyangan, gusung Panyoa, Trambanusa, dan Boni. Sebagai ekosistem, karang merupakan organisme utama pembentuk struktur dasar terumbu, ikan dan sejenisnya dalam jumlah dan spesies yang beragam merupakan organisme besar dan mencolok serta organisme lain yang berasosiasi dengan terumbu karang membentuk suatu ekosistem yang
paling beraneka warna ragam hayati di lautan.
b. Potensi Tsunami di Sekitar Selat Makassar
Wilayah pantai timur Sulawesi Selatan atau selat Makassar salah satu wilayah yang kaya akan potensi sumber daya laut, wisata, namun juga potensi akan Gelombang Pasang Tsunami (Agus Hendratno, 2005). Selat Makassar masuk dalam Zona D Sesismotektonik dengan 9 kali kejadian Tsunami dalam kurun waktu 400 tahun belakangan (Latief et al, 2000). Di Sulawesi Selatan, bencana Tsunami pernah melanda Kabupaten Majene (1964), Kota Makassar dan Kabupaten Bulukumba (1904), serta Kabupaten Selayar (1964 dan 1992). Kota Makassar merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan selat Makassar di sebelah timur dan masuk dalam Zona D dengan periode ulang Tsunami antara 15-20 Tahun (Subandono, 2007)

Sumber : Subandono, 2007. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami

Konsep Penataan Ruang dan Pengelolaan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar
Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Permen No. 16 Tahun 2008 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan bagan strategi Perencanaan berhirarki seperti gambar di bawah ini

Sumber : DKP, 2008
a. Renstra (Rencana Strategis)
Menurut UU 27 Tahun 2007, Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional. Dalam hal ini Rencana Strategis muatannya adalah
a. Arah kebijakan
b. Isu yang berkembang
c. Kelembagaan
d. Kordinasi
e. Target Kinerja
Sehingga dalam hal ini perencanaan wilayah pesisir secara nasional dapat diambil kebijakan bahwa di suatu wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah ditentukan kebijakan, kelembagaan serta rencana strategis apa yang dapat diterapkan. Kota Makassar dalam masuk dalam struktur pola ruang Pulau Sulawesi sebagai Kawasan Andalan Makassar dan Sekitarnya dan Pelabuhan Soekarno Hatta di Kota Makassar dalam Struktur Ruang Pulau Sulawesi Sebagai Pelabuhan Utama Primer.

Sumber : www.pu.go.id
b. Zonasi Wilayah Pesisir
Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir (UU No 27 Thn 2007). Rencana Zonasi membuat suatu jaringan/kisi-kisi spasial diatas lingkungan pesisir dan laut. Rencana ini memisahkan pemanfaatan sumberdaya yang saling bertentangan dan menentukan yang mana kegiatan-kegiatan dilarang dan diijinkan untuk setiap zona peruntukan. Suatu upaya untuk menciptakan suatu keseimbangan antara kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi (Subandono, Renzon, 2008) Tujuan Zonasi wilayah pesisir untuk mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya, serta untuk memandu pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya didalam rencana wilayah rencana
Prinsip Zonasi menurut Subandono (2008)
• Skema zonasi hendaknya mudah difahami dan dilaksanakan sesuai dengan ketersediaan dana, aspek tehnik, dan sumberdaya manusia
• Sesuai dengan tujuan pembangunan daerah
• Semaksimal mungkin mempertahankan existing kegiatan yang sudah ada apabila dianggap sudah rasional dan kompatibel
• Berdasar pada konflik & prioritas yg akan ditangani
• Perlu adanya kawasan kontigensi untuk kepentingan dimasa mendatang

Sumber : RenZon, Subandono, 2008.
Zonasi menurut Kepmen 34 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yaitu zonasi atau pemintakan wilayah atau kawasan yang berisi :
a. Kawasan lindung
b. Kawasan budidaya
c. Kawasan berikat (maritime berikat)
d. Kawasan pemanfaatan
e. Kawasan tertentu
f. Alur pelayaran
Kota Makassar dapat dibedakan beberapa zona, mulai dari zona pemanfaatan untuk Kawasan perlindungan setempat baik alami maupun buatan, Ekonomi, wisata, pelabuhan internasional, Perdagangan, estuaria di daerah muara Jeneberang dan zonasi daerah terumbu karang di gugus pulau kecil di sekitar Kota Makassar.
c. Rencana Detail/Aksi (Action Plan)
Di Kota Makassar yang padat akan penduduk, bangunan, serta aktivitas memungkinkan kita untuk merencanakan secara detail daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar. Berdasarkan Kepmen 34 Tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, detail Plan memuat massa bangunan/kegiatan dan sarana prasarana dengan tingkat kedalaman peta rencana 1:1000.
Pada detail plan rumusan atau kajian berdasarkan empat variable yaitu Secara teknis aspek yang harus dikaji adalah sebagai berikut:
a. Tata Ruang
Menyangkut pengembangan ruang yang lebih operasional teru¬tama fisik dalam rangka menunjang terbentuknya struktur dan pola penggunaan ruang. Kajiannya akan didasarkan pada kemampuan teknis fisik dasar maupun teknis artifisial.
b. Infrastruktur
Menyangkut penilaian terhadap jaringan, pola dan kebu¬tuhan pengembangan dari prasarana jaringan jalan dan utilitas. Infrastruktur ini akan banyak mempengaruhi kualitas lingkungan, baik lingkungan perumahan maupun lingkungan fungsional lainnya. Khususnya infrastruktur di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk mendukung kegiatan atau aktivitas sekitar.
c. Kerekayasaan
Menyangkut penilaian terhadap kondisi fisik dasar, dalam kaitannya dengan pengembangan infrastruktur, baik itu jaringan jalan, jaringan utilitas, maupun bangunan dari penilaian ini diharapkan dapat menyusun pradesign dari jaringan jalan, jaringan utilitas, maupun bangunan.
d. Estetika
Menyangkut penilaian terhadap aspek buatan manusia dan alam. Penilaian aspek buatan manusia sebagai dasar mengenali ciri sosial budaya masyarakat, mengidentifikasi kualitas lingkungan secara keseluruhan. Dalam pengembangannya diharapkan dapat memanfaatkan faktor alam, seperti pepohonan, taman-taman/ruang terbuka dan lain-lain yang disesuaikan dengan pola tata ruang yang diren¬canakan.
d. Pengelolaan Terhadap bencana/Mitigasi Bencana
- Mitigasi
Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No. 27 Thn 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). Mitigasi dapat diartikan secara sederhana upaya fisik dan nonfisik untuk mengurangi dampak bencana. Dalam hal ini UU No. 26 Thn 2007 Tentang Penataan Ruang dikatakan bahwa secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana
sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan
penghidupan. Sehingga dalam perencanaan penataan ruang dalam hal ini pengelolaan wilayah pesisir sangat menekankan pada aspek mitigasi, agar mampu mengelola sumber daya wilayah pesisir. Penyelenggaraan mitigasi bencana Wilayah Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 UU No. 27 Thn 2007 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:
- sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat;
- kelestarian lingkungan hidup;
- kemanfaatan dan efektivitas; serta
- lingkup luas wilayah.


- Manajemen Bencana
Ibarat sebuah siklus, pengelolaan bencana gempa dan tsunami itu mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi),

Gambar Siklus Manajemen Bencana
Sumber : Subandono, 2007. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami
- Prinsip Mitigasi di wilayah Pesisir
Menurut Subandono (2008) 3 prinsip dalam memitigasi, dalam hal ini s wilayah pesisir dan pulau kecil di Kota Makassar yaitu
a. Prinsip Adaptasi Akomodatif
Pada prinsip ini, seluruh guna lahan yang berada di daerah pesisir beralih fungsi, dengan lebar sempadan pantai minimal 150 – 300 meter. alih fungsi ini di maksudkan untuk mengamankan guna lahan daerah pesisir. contoh rumah-rumah yang di daerah pesisir yang menggunakan rumah batu biasa disyaratkan rumah panggung 2 lantai, sawah di tepi pantai di alih fungsikan tambak, dsb.

b. Prinsip Adaptasi Protektif Alami Serta Buatan
Pada prinsip ini arahan pertahanan Fisik alami dengan penanaman pohon bakau, hutan pantai, pohon nipah, pohon api-api serta tanaman-tanaman yang berakar kuat yang mampu menjadi penahan gelombang Tsunami. adapun secara buatan dengan pembuatan breakwater, seawall, sand nutrition, dll. Serta sistem peringatan dini dengan Buoy Radar, dsb.

c. Prinsip Adaptasi Mundur
Pada prinsip ini seluruh guna lahan yang berada di daerah pesisir Makassar dimundunkan digusur atau di relokasi minimal 150-300 meter dari garis pantai.















Daftar Pustaka

Adisasmita, Rahardjo. 2008. Kawasan Pembangunan Semeja. Graha Ilmu : Yogyakarta
Adisasmita, Rahardjo. 2008. Pembangunan Kelautan dan Kewilyahan. Graha Ilmu : Yogyakarta
BAPPENAS, World Bank, Departemen Dalam Negeri RI, dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004. Bahan Sosialisasi Nasional Marginal Fishing Community Development Pilot. Jakarta.
Bencana Tsunami (Bahan Presentase Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). DKP : Jakarta
Budiharsono, Sugeng. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradnya Paramita : Jakarta
Buku Saku Kota Makassar.2007. www.kotamakassar.go.id
Dahuri, Rokhmin dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta
Departemen Kelautan dan Perikanan. 12 Buku Petunjuk Teknis Perencanaan Wilayah Pesisir dan Laut : Jakarta
Diposaptono, Subandono dkk. 2007. Hidup Akrab Dengan Gempa dan Tsunami. DKP : Jakarta
Diposaptono, Subandono dkk. 2008. Renzon Berbasis Mitigasi (Bahan Presentase Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil). DKP : Jakarta
Kepmen No 34 Tahun 2002 Tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Humaniora: Bandung.
Laporan Pendahuluan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) Kota Lama Makassar. PU : Sulawesi Selatan
Latief, Hamzah dkk. 2008. Zonasi Wilayah Pesisir Berbasis Mitigasi. DKP: Jakarta
Mulyadi.2007. Ekonomi Kelautan.PT Raja Graffindo Persada: Jakarta
Permen 17 Tahun 2008 Tentang Perencanaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Permen 17 Tahun 2008 Tentang Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Rais, Jacub dkk. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita : Jakarta
Subri, Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta
Taufiq, Tuhana. 2007. Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami. Global Pustaka Utama : Yogyakarta
UU 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
UU 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Rangkuman

Kota
Ciri-ciri
- Penduduk sangat padat
- Mata pencarian bukanlah agraris
- Individualitik
- Sarana dan Prasarana lengkap
- Kegiatan ekspor impor barang dan jasa
Pedesaan
Ciri-ciri
- Perbandingan tanah dengan manusia (man land ration) yang besar
- Lapangan kerja agraris (pertanian, perkebunan, holtikultura)
- Hubungan penduduk akrab (kekerabatan, gotong royong)
- Sifat menurut tradisi
- Kadang bersifat otonomi
Wilayah
Adapun pengertian wilayah menururt Undang-Undang Tata Ruang no. 26 tahun 2007 yang menyatakan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Kawasan
Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Adapun beberapa pengertian kawasan secara spesifik yaitu sebagai berikut :
- Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
- Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Selain itu, dikenal kawasan pedesaan, kawasan perkotaan dan kawasan-kawasan tertentu yaitu :
- Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
- Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
- Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
- Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
- Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
- Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
- Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
- Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.

Lingkup Teritorial
- Perencanaan Wilayah (Regional Planning) ; pengertian & batasan geografis (wilayah aliran sungai/WAS/DAS, dsb)
- Perencanaan Daerah (Local Planning) ; pengertian & batasan kewenangan administrative (provinsi, kota/kabupaten, kecamatan, dsbnya)
- Perencanaan Kawasan (Zone Planning); pengertian & batasan fungsional (kawasan industri, permukiman, dsbnya)

Perencanaan adalah suatu untuk mencapai suatu cita-cita dan tujuan di masa mendatang yang lebih baik, dengan mempertimbangkan usaha-usaha pemanfaatan segala sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif dengan memperhatikan kendala maupun keterbatasan yang ada untuk dapat mencapai tujuan tersebut secara berkelanjutan.
Perencanaan dapat dikaitkan dengan upaya atau usaha merumuskan keinginan dan cita-cita, sehingga perencanaan dapat diartikan mengetahui dan menganalisis kondisi saat ini, meramalkan perkembangan berbagai faktor noncontrollable yang relevan, memperkirakan faktor-faktor pembatas, menetapkan tujuan dan sasaran yang diperkirakan dapat dicapai, serta mencari langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut.
Perencanaan menurut Wingo, 1969 ; Faludi, 1973 ; McLoughin, 1971 ; Lichfield, 1973 mengandung hakikat :
- Tujuan yang lebih baik di masa akan datang
- Adanya Sumber Daya ( alam, modal, manusia, dan informasi)
- Adanya limitas dan kendala (limitations dan constraints)
- Efisiensi dan keefektifan
Perencanaan merupakan aktivitas universal manusia, suatu keahlian dasar dalam kehidupan yang berkaitan dengan pertimbangan suatu hasil sebelum diadakana pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Perencanaan adalah
- Pemikiran hari depan
- Pengelolaan
- Pembuatan keputusan yang terintegrasi
- Prosedur formal untuk memperoleh hasil nyata, dalam berbagai bentuk keputusan menurut sistem yang terintegrasi.
Sehingga fokus perencanaan yang dapat dipetik atau topik perencanaan (dirangkum dengan hasil pertemuan I, MK Teori Perencanaan II, Dr. Ir. Umar Mansyur, M.T.) sebagai berikut :
a. Perencanaan memberikan perubahan, pencapaian maksud/tujuan, pada masa yang akan datang
b. Menganalisis, mengontrol perubahan akibat faktor eksternal maupun internal.
c. Kesinambungan kebijakan, serta terintegrasinya keilmuan dalam menganilisis faktor pembatas (treshold) dan
d. Meminimalkan resiko sehingga berhasil efektif dan efisien.