Abstrak Makalah
Makalah ini mengkaji Komunitas Nelayan di Kota Makassar salah satu komunitas cukup memprihatikan di kota Makassar. Keberadaan komunitas tersebut dilihat berdasarkan penghasilan, asal muasal sehingga menetap sebagai nelayan, serta kehidupan social lainnya. Dan pada akhirnyadi akhir makalah ini beberapa kesimpulan yang mampu memberikan salah satu masukan progam baik jangka pendek maupun jangka menengah kepada pemerintah yang mampu memberikan impuls sehingga terjadi pembangunan yang partisipatif dan komprehensif.
A. Latar Belakang
Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautandidasari atas pemikiran mengenai kondisi, potensi, peluang dan permasalahan pembangunan kelautan yang ada, selain itu juga didasari atas kerangka pertimbangan pembangunan nasional. Pembangunan berbasis kelautan sudah saatnya dijadikan focus utama dan prioritas pembangunan. Hal ini mengingat sumberdaya kelautan Indonesia sangat berlimpah, dan industry kelautan pun mempunyai keterkaitan yang kuat dengan industry lainnya. Sumber daya di sector kelautan sangat mumpuni dalam hal membiayai ataupun memberikan konstribusi yang sangat melimpah bagi pertumbuhan bangsa atau Negara Republik Indonesia.
Sumber daya ini menjadi incaran semua pihak, element masyarakat, swasta, pemerintah, dll yang siap mengeruk hasil kekayaan laut yang begitu melimpah. Sebagian besar berusaha memanfaatkannnya untuk kemaslahatan ummat namun tidak sedikit pula yang menggunakan kekayaan tersebut untuk kepentingan diri sendiri.
Sumber daya laut serta daerah pesisir banyak di geluti oleh komunitas di pinggir pantai yang biasa dikenal dengan komunitas nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok yang hidupnya tergantung pada langsung pada hasil laut. Mereka umunya tinggal di pingiran pantai, sebuah lingkungan yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003 dalam Mulyadi, 2007). Sesungguhnya nelayan bukanlah suatu entitas tunggal mereka terdiri dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemelikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu Punggawa atau pemilik kapal, modal serta alat tangkap lainnya, Papalele atau disebagian tempat disebut parewa atau nelayan yang memiliki perahu serta alat tangkap sendiri namun menangkap ikan secara perorangan saja. Sedangkan sawi atau nelayan buruh, nelayan yang tidak memiliki kapal maupun perahu, keterbatasan alat tangkap, serta bekerja atas suruhan orang lain.
Beberapa tempat di Kota Makassar banyak daerah-daerah yang ditempati bermukim oleh para nelayan contohnya di Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, di Kelurahan Lette, Kecamatan Mariso, hingga di tempat atau daerah kajian penulis di Kelurahan Untia Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Kajian social budaya setempat penting untuk melihat kebiasaan, kultur, serta sifat atau symbol yang muncul di komunitas sehingga pembangunan ataupun pengelolaan bagi masyarakat nelayan yang dapat dikatakan kurang atau rendah dapat dilakukan guna kelangsungan hidup mereka dengan tetap menggunakan sumberdaya alam laut yang menjadi kebutuhan serta hidup mereka sehari-harinya.
B. Komunitas Nelayan Kelurahan Untia
Komunitas dapat diartikan kelompok atau perkumpulan yang memiliki persamaan budaya, ras, bahasa, tujuan, visi, misi dan lain sebagainya. Sehingga komunitas nelayan dapat diartikan bahwa perkumpulan atau kelompok nelayan yang memiliki perkejaan sama yaitu menangkap ikan dengan laut sebagai tempat kerja atau mencari penghasilannya.
Kelompok-kelompok nelayan biasanya tinggal di daerah di sepanjang garis pantai serta rumah atau permukimannya selalu secara linear mengikuti pola garis pantai. Pda daerah kajian, terlihat permukiman nelayan Kelurahan Untia menghadap laut dan mengikuti pola garis pantai atau terdistribusi linear sepanjang garis pantai . Hal ini disebabkan kebiasaan warga nelayan menganggap laut sebagi sumber penghidupan sehingga pantang untuk membelakanginya.
Asal muasal para nelayan tersebut masuk ke Kota Makassar yaitu karena di daerah asalnya atau daerah tempat tinggal sebelumnya di pulau Lae-lae kira-kira 3-5 Km dari Kota Makassar dengan menggunakan kapal penyebrangan, terjadi pembangunan daerah wisata oleh Walikota Makassar terdahulu Bapak Malik, sehingga warga nelayan yang tinggal didaerah tersebut direlokasi ke daerah Untia, Utara Kota Makassar. Relokasi ini awalnya untuk seluruh nelayan serta seluruh keluarganya. Dengan uang penggantian kapal, rumah pengganti serta tabungan dari pemerintah menjadi daya tarik pemerintah terhadap warga nelayan. Namun yang berpindah hanya 64 KK, tidak semua. Hal ini diakibatkan bagi nelayan didaerah asal atau di pulau Lae-lae sumber kehidupan jauh lebih daripada tempat sebelumnya, karena perubahan yang sangat drastis pula sehingga sedikit terjadi penolakan dari para warga nelayan.
Dalam hal ini penulis mengambil sampel 25 orang nelayan yang diwawancarai dalam segi perekonomian, umur, jenis ikan yang didapatkan, kepemilikan alat tangkap para nelayan, dll. Dapat dilihat pada table berikut di bawah ini :
Tabel Hasil Survey Nelayan dengan Responden 25 Orang
No. Nama Nelayan Umur (thn) Asal Pendidikan Terakhir Penghasilan per hari Jumlah jam kerja/hari Jenis Ikan Tangkapan Jumlah Tangkapan Jumlah Hasil Tangkapan (Kg) Kepemilikan Perahu
1 Daeng Nuru 55 Selayar SD Rp100.000 12 Katombo 50 Milik Sendiri
2 Andi Baharuddin 40 Maros SMA Rp100.000 10 Baronang, Katombo 50 Pinjaman
3 Safar 39 Maros SD Rp10.000 5 − − Milik Sendiri
4 Syahril 29 Lae-lae SD Rp25.000 15 cumi-cumi 10 Pinjaman
5 Rahman 23 Makassar SMP Rp30.000 24 ikan merah 20 Pinjaman
6 Ilyas Sawattung 42 Lae-lae SD Rp100.000 24 ekor kuning, bannyara 10 Milik Sendiri
7 Arfin 25 Makassar SD Rp50.000 10 cumi-cumi 10 Milik Sendiri
8 Daeng Laba' 60 Makassar Rp50.000 15 cumi-cumi 10 Milik Sendiri
9 Daeng Nyakla' 50 Makssar SD Rp50.000 18 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
10 Ismail 60 Maros SD Rp300.000 15 rappo, cumi-cumi 30 Milik Sendiri
11 Nurdin 36 Makassar SD Rp50.000 18 dalosi, cumi, rappo 30 Milik Sendiri
12 Daeng Naja' 52 Makassar tidak sekolah Rp50.000 18 dalosi, cumi, rappo 30 Milik Sendiri
13 Jery 29 Makassar SMP Rp50.000 20 rappo, cumi-cumi 30 Milik Sendiri
14 Soso Sideng 45 Makassar SD Rp50.000 cumi-cumi 3 Milik Sendiri
15 Daeng Bella 42 Makassar SD Rp50.000 12 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
16 Daeng Buang 36 Lae-lae SD Rp50.000 12 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
17 Daeng Rasi' 41 Lae-lae SD Rp50.000 12 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
18 Umar 21 Lae-lae SD Rp50.000 12 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
19 Daeng Tawang 56 Lae-lae SD Rp50.000 15 cumi-cumi 10 Pinjaman
20 Daeng Sese 43 Lae-lae SD Rp50.000 13 cumi-cumi 10 Pinjaman
21 Rudi 18 Lae-lae SD Rp25.000 12 Baronang, Katombo 20 Pinjaman
22 Anto 15 Lae-lae SD Rp32.000 12 rappo, cumi-cumi 15 Pinjaman
23 Daeng Tuju 62 Lae-lae tidak sekolah Rp70.000 15 cumi-cumi 5 Milik Sendiri
24 Daeng Kulle 57 Lae-lae tidak sekolah Rp50.000 24 Katombo 15 Milik Sendiri
25 Arham Sijaya 55 Lae-lae SD Rp50.000 18 ikan merah 10 Milik Sendiri
Sumber : Survey Lapangan, 2009.
C. Kompleksitas Permasalahan
Kajian dari data di atas dapat dijabarkan permasalahan masyarakat nelayan sebagai berikut dibawah ini.
1. Perekonomian Komunitas Nelayan
a. Kemiskinan Nelayan
Kemiskinan Nelayan terjadi begitu nyata di dalam komunitas Nelayan tersebut. Kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Disebut cair karena kemiskinan bias bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bias saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas garis kemiskinan yang oleh sementara ahli diukur menurut standar kebutuhan pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi. Akan tetapi, apa yang tampak secara objektif tidak miskin itu, bias saja dirasakan sebagai kemiskinan oleh pelakunya karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi yang dialami orang lain, yang pendapatannya jauh lebih tinggi darinya (Imron, 2003 dalam Mulyadi, 2007). Sebagaimana yang dikemukakan di atas ada beberapa klasifikasi masyarakat nelayan, ada 2 nelayan yang citra kemiskinan yang sangat melekat di komunitas nelayan yaitu papalele dan buruh nelayan. Nelayan di Kawasan Permukiman Nelayan, Kelurahan Untia termasuk salah satu komunitas nelayan yang cukup miskin, dengan rata-rata pendapatan Rp.20.000-Rp.200.000 per hari. Pendapatan ini terkadang berubah-rubah terkadang nelayan tersebut mendapatkan hasil yang melimpah terkadang pula nelayan tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Kondisi cuaca yang begitu selalu mengalami perubahan memaksa para nelayan hanya menunggu hingga perubahan cuaca di sekitar laut membaik, terkadang komunitas nelayan ini bias tidak melaut dalam waktu 3-5 hari kedepan akibat cuaca memburuk. Sehingga pendapatan dapat dikatakan sesuai rezeki para nelayan pada saat bekerja.
b. Teknologi Penangkapan ikan
Dapat dipahami, jika ketergantungan para nelayan terhadap teknologi penangkapan itu sangat tinggi hal tersebut disebabkan kondisi sumber daya perikanan yang bersifat mobile atau bergerak, pindah dari suatu tempat ketempat yang lain. Pada umumnya nelayan di daerah Untia ini menggunakan perahu kecil dengan ukuran paling kecil 3 meter, dan yang paling besar hingga 12 meter, dengan mesin perahu berkekuatan 5 PK. Alat tangkap lain yang kami lihat di daerah nelayan ini, kebanyakan membuat jarring sendiri dengan pengklasifikasian alat atau jaring tangkap berdasarkan jenis ikan. Sehingga nelayan sangat bergantung pada teknologi ini yang berupa perahu, serta alat tangkap lain. Namun di satu sisi sebagian nelayan hanya meminjam atau ikut berlayar mencari ikan, karena keterbatasan alat yang dimiliki.
c. Waktu jam kerja
Nelayan tangkap yang mencari ikan rata-rata dimulai pada pukul 5 sore hingga puku 7 pagi dengan rentan waktu kerja dalam sehari yaitu 12-20 jam sehari. Namun tidak sedikit pula yang bekerja sehari penuh dengan menginap di daerah penangkapan ikan. Karena jarak begitu jauh hingga 20-25 Km dari tempat bermukim dengan lama perjalan hingga memeakan waktu 4 jam, sehingga menuntut para nelayan untuk menginap di daerah tangkapan ikan.
d. Distribusi Hasil Ikan
Nelayan Untia ini mendapatkan hasil ikan rata-rata 10-30 Kg dalam sehari kalau lagi baik cuaca sehingga target terpenuhi terkadang nihil tanpa membawa 1 ikan pun. Hasil tangkapan tadi langsung dijual di Paotere atau tempat pelelangan ikan terdekat yang berada di Kota Makassar.
e. Kelompok Umur Pekerja Nelayan
Nelayan di Kelurahan Untia kebanyakan yang bekerja dengan umur diantara 220-60 tahun, namun juga anak-anak yang masih bersekolah terkadang atau harus ikut berlayar mencari ikan bersama orang tua. Sehingga dari segi pendidikan para nelayan ini kebanyakan hanya tamat SD, dikarenakan tuntutan hidup mencari nafkah mengharuskan masyarakat ini baik tua maupun muda harus turun ke laut mencari ikan.
D. Kompleks Penyelesaian (Penyusunan Program)
1. Budidaya Ikan dan Penangkapan Ikan
Dalam sector perikanan, dibedakan antara budidaya ikan dan penangkapan ikan. Budidaya ikan dalma pola kerjanya lebih menyerupai pertanian atau peternakan daripada penangkapan ikan. Biasanya seorang yang membudidayakan ikan memperbaiki daerah tertentu untuk meningkatkan pertumbuhan ikan dan memperoleh hak atas ikan, kepemilikian ikan menyerupai apa yang ada dalam pertanian.
Dalam hal ini budidaya ikan dapat menjadi salah satu penyelesaian masalah ekonomi nelayan di Kelurahan Untia, karena nelayan di Untia seluruhnya sebagai nelayan tangkap. Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini dapat memberikan masukan kepada para nelayan yaitu berupa pendanaan serta sosialisasi dalam hal budidaya ikan. Dengan hal ini meningkatkan hasil pendapatan serta kembali memperbaiki daerah sekitarnya yang sebenyarnya memiliki potensi tambak, atau penakaran ikan.
2. Modal Sosial
Sistem Nilai, seperti etika social dan etika penghormatan social, etos kerja, serta saling percaya, berbagai pranata social/kelembagaan social, jaringan hubungan-hubungan social, system pembagian kerja secara seksual, dan seluruh dimensi kebudayaan merupakan modal social yang dimiliki oleh suatu masyarakat, termasuk masyarakat pesisir. Modal social ini dapat ditingkatkan dengan perbaikan kelompok, perencanaan yang mengacu pada asas kelompok, kebersamaan, dan lain-lain. Sehingga permasalahan 1 nelayan menjadi masalah nelayan bersama. Contohnya Pembentukan Kelompo Masyarakat Pemanfaat (KMP) dalam Program Pemberdayaan Ekonomi MAsayarakat Pesisir (PEMP) harus memperhatikan modal social masyarakat. Kelompok ini dapat merajut kohevisitas kelompok dan solidaritas social sehingga dapat permasalahan disekitar nelayan dapat diatasi dengan tepat dan cermat.
3. Koperasi
Pembentukan koperasi di daerah kawasan permukiman nelayan untuk membantu modal masyarakat nelayan dalam perbaikan kapal, mesin, alat tangkap, serta mengajak masyarakat nelayan untuk menabung dengan system ekonomi kerakyatan. Di desa pantai, umunya tidak ada tradisi menabung asuransidan penggunaan sarana ekonomi dan lembaga pembiayaan modern, semuanya berjalan secara alami dan tradisional. Sementara itu, di sisi lain arus informasi dan bentuk-bentuk hiburan yang tersaji sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi.
4. Program Co-Management dan CBRM
Co-management perikanan dapat dirumuskan sebagai pengaturan kemitraan kedinasan pemerintah, nelayan, LSM, dan Stakeholder lainnya (pedagang ikan, pemilik perahu, para pengusaha dan sebagainya) berbagi tanggung Jawab dan otoritas untuk melakukan manajemen perikanan. Meliputi berbagai bentuk kemitraan dan tingkat pembagian kekuasaan dan keterpaduan local (informal, tradisonal, adat istiadat) dengan system manajemen pemerintahan terpusat ataupun otonomi daerah.
CBRM ialah Community Based Coastal Resource Management, yang dimana proses ini masyarakat pantai sendiri diberikan peluang dan tanggung jawab mengatur sumber daya alam pantai yang mendaftarkan sendiri kebutuhannya serta menentukan arah dan tujuan aspirasinya.
5. Pemberian Modal serta kredit Murah untuk Perah serta alat tangkap
Modal dari pemerintah serta kredit murah kepada masyarakat nelayan untia juga salah satu yang dapat meringankan masalah yang terjadi di masyarakat nelayan baik untuk pembelian perahu, perbaikan mesin, maupun pembelian alat tangkap.
6. Program Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Nelayan Kecil (Marginal Fishing Communities Development Pilot)
Program Marginal Fishing Communities Development Pilot (MFCDP) hakekatnya merupakan program khusus pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan kecil di kecamatan yang menyelenggarakan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program ini menitikberatkan kepada perlibatan masyarakat pesisir dan nelayan kecil dalam pengelelolaan pesisir, meningkatkan efektivitas dari proses perencanaan partisipatif dalam desa dan kawasan pesisir, dan membantu memecahkan masalah-masalah pengelolaan kawasan pesisir serta mengembangkan kegiatan perekonomian yang memberikan kesempatan penuh dalam pengembangan masyarakat pesisir dan nelayan kecil. Dengan program MFCDP ini diharapkan masyarakat tepat dan berkelanjutan, sehingga akan diperoleh jaminan kepastian dalam meningkatkan taraf hidupnya.
E. Rencana Strategis
1. Mengidentifikasi Strategis atau program yang dipilih untuk menghindari kesenjangan
2. Interaksi positif di antara para pengambil kebijakan dan pembuat keputusan utnuk memilih strategi yang terbaik/paling sesuai
3. Meneliti serta merinci rencana-rencana operasional untuk mengimplementasikan pembaruan strategis secara optimal
F. Monitoring serta Evaluasi
1. Para pengambil kebijakan dan para pelaksana bersama-sama memonitor perkembangan dan evaluasi hasilnya secara berkala untuk mengetahui tingkat kemajuannya
2. Mengidentifikasi deviasi/penyimpangan antara rencana dan pelaksanaan serta evaluasi rencananya
3. Melakukan penyesuaian-penyesuaian dan modifikasi rencana-rencana sesuai dengan yang dibutuhkan
G. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan :
1. Program pembangunan masyarakat desa diarahkan untuk mencegah dan meniadakan kemiskinan dan kesengsaraan yang dapat terjadi di kalangan masyarakat. Untuk itu pelu dilakukan usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan dasar, kebutuhan hidup minimum sehingga dapat mendoong masyarakat untuk selanjutnya tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri.
2. Mendorong dan meningkatkan aktivitas kreativitas, prestasi masyarakat dalam pembangunan
3. Di dalam menghapus kemiskinan masyarakat nelayan perlu diusahakan peningkatan sumber daya alam, swadaya serta produktivitas masyarakat guna menciptakan kehidupan ekonomi yang berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan dan taraf hidup.
4. Meningkatkan dan memanfaatkan peranan lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok nelayan yang berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
5. Pembangunan desa nelayan diarahkan diutamakan pada nelayan miskin serta wilayah nelayan yang sifatnya kritis, pantai dll.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnadi. 2006. Filosofi Pemberdayaan Masyarakat Pesisir. Humaniora. Bandung.
Mulyadi.2007. Ekonomi Kelautan.PT Raja Graffindo Persada. Jakarta
BAPPENAS, World Bank, Departemen Dalam Negeri RI, dan Departemen Kelautan dan Perikanan RI. 2004. Bahan Sosialisasi Nasional Marginal Fishing Community Development Pilot. Jakarta.
Thursday, April 16, 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment